Jumat, 14 September 2012

Mereka bilang ini wisuda

Buat saya ini Hari-Indah-Namun-Menyiksa. Indah karena hari itu saya melahirkan bayi yang sudah saya kandung selama 3 tahun. Menyiksa karena seperti ibu-ibu lain, proses melahirkannya yang saya alami cukup menyiksa. Saya harus berurusan dengan kebaya, songket, dan high heels. 
Dimulai dari masalah kebaya. Saat itu semua penjahit tidak lagi menerima orderan karena menjelang lebaran. Jahitan mereka lebih banyak dari hari biasa, mau pulang kampung dan deadline yang saya berikan cukup singkat untuk pembuatan kebaya. Akhirnya saya harus menelan pil pahit. Kain kebaya yang sudah saya beli dan pilih sendiri tidak akan membaluti tubuh saya ketika wisuda nanti. 
Untuk songket, saya juga membeli & memilihnya sendiri. Songket pertama yang saya pilih adalah berwarna ungu tua kehitam-hitaman. Sangat cantik. Namun sayang, selendangnya hilang. Ibu tidak mengizinkan saya membeli tanpa selendang. Saya kecewa, akhirnya saya memilih warna hijau tua. Saya langsung menyandungkan lagu Pink Floyd berjudul Green is the Colour dengan nada sangat rendah. 
Masih ada lagi. Toga! Saya mengambil toga di hari pengambilan terakhir. Sesampainya dibalairung terdapat tulisan bahwa toga ukuran S akan datang 2 hari lagi. Baiklah. 2 hari berlalu, saya datang kembali ke balairung untuk menjemput toga. Memang tidak ada kertas pengumuman lagi saat itu. Adanya seorang bapak yang memberitahukan bahwa saat itu yang tersedia hanya ukuran L, ukuran S akan datang beberapa jam lain. Saya harus menunggu lagi. Tidak apa-apa. Saya hanya bisa menyabarkan diri sendiri. Menunggu toga sambil menghitung orang-orang yang berpakaian biru diruangan itu. 17 orang. Tidak penting memang. Beberapa jam berlalu, akhirnya toga datang, mahasiwa (termasuk saya) mengerubungi panitia. Lucunya ukuran S tetap tidak ada. Saya melipatkan tangan di bawah dada, menyantaikan diri sendiri. "Baiklah ukuran M juga tidak apa-apa". Akhirnya giliran nama saya yang disebut. Tahu apa yang terjadi? Saya nama pertama setelah toga berukuran M habis. Artinya, saya mendapat toga ukuran L. Toga yang sudah ada dari awal. Saya tertawa menyeringai entah kepada siapa. Mungkin kepada malaikat di bahu kanan saya, Rakib. Semoga malaikat Rakib tidak lupa mencatat kesabaran saya hari itu.
Lupakan soal atribut Wisuda. 4 hari sebelum wisuda berlangsung, di laksanakan yudisium. Saya sama sekali tidak tidur malamnya. Saya pergi ke salon untuk berkonde dan Make up. Salah saya memang tidak peduli dengan make up dan terlalu percaya pada mbak salon. Alhasil muka saya seperti Alien. Make up terlalu berwarna. Menjijikan. Saya menyadarinya ketika selesai karena cermin didepan saya terhalang peralatan make up. Saya tidak berinisiatif untuk meminta mbak salon menggeserkan alat make up karena akan membuang waktu, sedangkan saya ingin cepat-cepat selesai karena tidak betah. dengan proses make up ini. Akhirnya saya menghapus sedikit wajah saya dengan tissue. Saya malas berurusan dengan mbak salonnya lagi. Saya mengganti baju dengan kebaya. Torso nya kekecilan dan perut saya buncit. Terpaksa saya tidak makan siang karena takut torso semakin sempit.Yudisium berlangsung. Saya kesulitan dengan high heels yang memang lebih tinggi dari heels yang pernah saya gunakan seumur hidup. Saya duduk dibagian belakang sehingga mendapat giliran untuk berfoto dengan rektor pun sedikit lama. Saya antri dengan beratus-ratus wisudawan lainnya. Sesekali saya keluar barisan dan menyuri untuk duduk. Telapak kaki saya sangat sakit, belum lagi punggung yang dibalut torso dan rasa haus yang sangat teramat haus. Semakin ke depan makin mendesak, antrian memiliki dua cabang, saya berada di tengah-tengah pertemuan 2 antrian itu. Ditengah-tengah kerumunan orang, saya menyadari keadaan saya sedang oke. Saya kekurangan udara, haus,  belum tidur, belum makan siang, torso kekecilan dan high heels yang menyiksa injakan saya. Saya tahu saya akan pingsan bila saya memaksa diri. Tanpa pamit dengan teman-teman terdekat saya jalan sendiri sedikit terhuyung menuju kursi. Begitu duduk tidak begitu lega seperti yang saya harapkan. Pandangan makin lama makin gelap, suara yang terdengar semakin mengecil. Saya tahu ini pingsan, saya pernah merasakannya dulu sewaktu upacara SMP. Saya menyenderkan kepala saya kekursi depan. 10 detik saya tidur namun masih bisa berpikir. Keringat dingin yang mengalir masih dapat saat saya rasakan saat itu. Pusing saya rasanya sedikit mereda. Saya menyadari teman menghampiri saya. Mereka menurunkan resleting torso agar saya dapat bernafas dengan lancar. High heels saya lepas. 10 menit berlalu saya merasa masih tidak kuat berdiri. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak berfoto dengan rektor, saya menyuruh teman saya untuk kembali ke antrian. Beberapa menit kemudian teman saya menghampiri saya lagi kali ini bersama petugas yang mengurus berlangsungnya acara. Mereka menyodori saya pertanyaan, sampai akhirnya tawaran nyalip antrian di tujukan kepada saya. Saya tertawa licik, sambil cengengesan saya mengiyakan. Akhirnya saya menggunakan flat shoes teman saya yang ukurannya besar  karena keadaan tidak memungkinkan untuk menggunakan high heels. Bulu mata dan songket saya sama-sama. kendor. Tapi sudahlah, saya ingin cepat pulang. Saya berjalan ke panggung melewati antrian. Saya sadar saya sedang diperhatikan, entah karena alas kaki saya, bulu mata, atau kasian karena saya sakit. Beberapa suara yang saya kenal memanggil namun saya abaikan. Sampai akhirnya saya sudah berada didepan rektor. Horeee! Bisa ditebak hasil foto nanti pasti muka saya kusut, merengut. Ya, mau gimana lagi.Perjalanan menuju parkiran, saya sempat berkata "lumayan buat bahan cerita di blog gue" kepada teman saya yang mengomentari kejadian yang baru saya alami itu.
Tidak hanya saat yudisium, hari wisudanya pun saya masih 'tersandung batu' dalam prosesnya. Saya tidak mengulangi kesalahan untuk make up. Saya mendapat riasan yang saya mau. Kebaya baru saya ternyata kesempitan (lagi). Saya cukup prepare untuk wisuda ini, karena saya tidak mau menyusahkan orang lain lagi. Saya mau bersenang-senang, bukan kliyengan seperti kemarin. Saya tidur cukup, sarapan, pup di salon, membekal sandwich dan sebotol pocari sweat. Urusan salon selesai, saya sengaja meresletingkan torso setengah bagian saja untuk sementara. Jemputan saya berada di seberang salon, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk puter balik karena macet. Akhirnya saya nyebrang dengan full make up, kebaya dan songket. Jubah toga yang masih di hanger saya tenteng. Blunder, saya memegang hanger nya bukan jubahnya. Saat sudah diseberang saya baru menyadari jubah saya tidak ada. Saya menoleh kebelakang. Jubah toga yang susah payah saya dapatkan hasil kerja keras kuliah selama ini sedang terlindas kendaraan yang sedang lalu lalang. Oke saya ulangi lagi.Jubah toga saya jatuh di jalan raya, beberapa kali digiling ban-ban besar yang lewat. Ya, itu jubah toga saya teman-teman.Sedih tapi yang keluar lagi-lagi tawa cengengesan saya. Untungnya ada Adit yang menyelamatkan jubah saya, ia yang mengambil jubah itu di tengah jalan, sedangkan saya menunggu di tepi jalan. Saya mengucapkan terima kasih padanya, sempat berkata "untung gak pake acara nyangkut di mobil orang, terus harus ngejer-ngejer mobil itu dulu ya". Detik kemudian saya merangkul erat-erat jubah toga saya yang untungnya tidak sobek tapi penuh debu itu. Wisuda berlangsung, saya menghemat energi, tidak ikut berdiri ketika bernyanyi. Mengipas-ngipaskan muka agar mendapat udara segar, menghabiskan minuman dan makanan. Disaat semua wisudawan berdoa untuk masa depan yang cerah, saya malah berdoa untuk tidak pingsan lagi hari itu. Wisuda berjalan lancar. Saat hiburan berlangsung, seorang wisudawan perempuan berbadan besar naik keatas panggung dan menyanyikan lagu dengan sangat indahnya. Saya ingat, perempuan besar ini orang yang bersama saya ketika mengganti kebaya dan menunggu di salon tadi. Terus kenapa? Gak kenapa-kenapa sih. Berasa punya kedekatan saja. Au ah. Keluar dari ruangan saya disambut mawar merah dari Ibu dan Akak. Senang sekali. Beberapa langkah setelah itu saya menemukan Adit dengan sebuket mawar putihnya. Dengan malu-malu saya meraih bunga itu. Saya mendapatkan 2 bunga di wisuda saya. Hal yang tidak saya harapkan sebelumnya. Setelah berfoto dengan keluarga dan teman-teman seangkatan termasuk Adit. Saya pun pulang. Senja itu saya tidak mempedulikan teriakan ibu yang menyuruhkan saya memakai high heels saya. Saya berjalan telanjang kaki menuju parkiran sambil menggandeng si bocah tengil Abrar. 
Saya menoleh kebelakang sejenak, gedung rektorat itu tersenyum kepada saya. Jingganya langit saat itu mengingatkan saya pada hangatnya senyuman seseorang. Seseorang yang beberapa menit kemudian menemukan saya. Dijalan yang sama ketika saya menemukannya siang itu saat menuju balairung.


Saya dengan atribut wisuda bersama Ibu yang salah lirik kamera (Foto ini memang mainstream, setiap wisudawan mayoritas menyempatkan dirinya untuk berfoto di depan gedung rektorat, entah apa maknanya saya belum tahu)