Rabu, 19 November 2014

Lamunan pulang kerja



Duduk pada anak tangga di peron 3-4 Stasiun Manggarai. Diiringi lagu melankolis dari Badfinger, Apple of My Eye. Udara lembab beraroma hujan. Keadaan ini memaksaku untuk mengenang. Mengenang siapapun ia yang pernah membuat tidurku tak nyenyak karena mengkhayalkannya.

TK
Dia adalah seorang anak laki-laki dari kelas sebelah. Aku lupa namanya, mungkin Reza. Kita tidak saling mengenal. Aku hanya berinteraksi sekali dengannya, itu pun bukan hal yang manis. Ia memarahiku ketika kita dan teman-teman lainnya sedang bermain ayunan. Aku yang seharusnya menangis malah menyukainya. Ntahlah rasa itu tepatnya dinamai apa. Berhubung hanya dia laki-laki yang bisa aku ingat di masa TK, maka kuanggap ia istimewa. Ia berperawakan bocah nakal dengan rambut keriting kusut dan berpipi tirus.

SD
Kelas 1 caturwulan 1, namanya Robi. Rambutnya coklat terang, tinggi diantara yang lain dan kulitnya sangat putih. Ia pernah menggodaku, ia menghadangku, menghentikan langkahku dengan mengembangkan kedua lengannya. Aku kiri, ia ke kiri, aku ke kanan ia kekanan. Aku ingat ia begitu sambil tersenyum manis lalu memanggilku "Saras". Aku pura-pura marah padanya dan mengancamnya untuk mengadukan "tindak kriminal" ini ke wali kelas. Lalu ia tertawa kecil dan meminta maaf lalu membiarkanku pergi menuju kantin. Tahukah ia bahwa aku selalu menunggunya menggodaku lagi di hari-hari berikutnya. Caturwulan 2 aku pindah kota, aku pun kehilangannya. Aku kerap berharap tiba-tiba ada murid baru di sekolahku dan ternyata dia Robi, khayalan ini aku adopsi dari tayangan di televisi.

Aku mulai memiliki idola, seperti Chester Beninngton dan Y2K (salah satu petarung di WWF Smack Down), ku tulis mereka di diaryku. Aku juga menyukai abang-abang gondrong yang kuanggap mirip Y2K, abang gondrong ini hanya kutemui ketika acara 17an di RT-ku. Aku sering membayangkannya walau sampai sekarang aku tidak tahu namanya siapa.

Kelas 5, aku kembali menyukai teman sebayaku. Aku ingat namanya siapa, namun tak akan kusebut disini karena aku malu bila salah-satu teman SD-ku membaca ini. Dia anak baru, berkulit putih, rambut ‘botum’, berbibir merah dan cenderung hemat bicara . Dia banyak disukai anak perempuan, karena ia memiliki nilai plus yaitu berkulit putih, satu hal yang menempati urutan pertama pada daftar ciri-ciri lelaki ganteng pada masa itu. Aku menyukainya karena saat itu aku berpikir ia mirip Chester Beninngton karena model rambutnya sama, tapi setelah aku pikir-pikir lagi ia lebih mirip Boboho berbadan ramping.

Kelas 6, aku menyukai lelaki lain. Sangat-sangat menyukainya, sampai-sampai aku membuat semacam logo yang bila di perhatikan secara seksama akan terbaca namanya. Logo ini aku pakai di diary-ku, karena aku takut dibaca oleh kakak-kakak ku yang sering mencuri baca diaryku. Sehingga setiap mengucapkan namanya di diaryku kuganti dengan Logo itu. Logo itu juga sering aku tulis di belakang buku tulisku, di meja belajarku dengan menggunakan tipe-x, di jendela yang berdebu, dipahaku dengan menggunakan pulpen (aku suka menggambar apa saja di badanku) dan juga pada lenganku ketika diselimuti sabun mandi. Menulis namanya saja sudah membuatku bahagia. Aku tak pernah ngobrol dengannya, hanya saja aku sering dengan sengaja bertemu pandang (memandangnya terus-terusan dari jauh, menunggu ia menoleh ke aku) lalu ketika ia menoleh ke arahku, ku lemparkan senyum termanisku lalu menoleh ke arah lain seakan temu pandang dan senyum itu hal yang biasa, padahal sukses membuat jantungku seakan loncat dari penompangnya. Oh ya, aku juga sering menelpon rumahnya, namun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Aku hanya ingin mendengar suaranya, walau hanya “halo”. Hal yang sering aku khayalkan adalah berada di bangku belakang sepedanya ketika pergi-pulang les.



SMP
Aku mulai berada di usia yang dihiasi dengan trend pacaran. Hal yang tidak pernah aku ikuti semasa SMP. Bukan karena tidak ada pria yang menyukaiku, sudah ada yang menyatakan cinta kepadaku ketika aku kelas 1. Lucunya ia tidak mengatakannya secara langsung, pria itu bernama Ulil, ia bercerita pada temannya yang juga temanku bernama Geri bahwa ia menyukaiku. Lalu Geri menghampiriku yang sedang mengambil piring berisi lontong, Ulil bersembunyi dibelakang tubuh Geri. Geri bilang kepadaku bahwa Ulil menyukaiku dan ingin menjadi pacarku. Aku yang kala itu sedang sibuk dengan lontongku akhirnya berkata “maaf, aku gak mau pacaran” kemudian berlalu menjauhi mereka berdua, mencari tempat untuk menikmati lontong dengan khusyuk. Selain Ulil juga ada pria lain yang menyukaiku, Dia lah yang pertama kali mengirim surat cinta dan memberiku boneka bila di tekan berbunyi “I love you” ketika valentine, namun aku tak menyukainya.

Aku menyukai kakak kelasku, yang lagi-lagi kusukai karena ia (ku anggap) mirip Chester Beninngton. Setiap upacara aku selalu mencarinya dengan ekor mataku.

Kelas 3, aku menyukai teman sekelasku. Aku menyukainya karena ia pendiam, ia duduk di seberangku. Aku ingat, kita pernah belajar bersama sebelum ulangan Fisika.. Aku dan dia duduk di bangku masing-masing, tidak saling berhadapan, kita mengingat-ingat rumus fisika bersama.

SMA

Aku menyukai kakak kelasku, dalam surat yang kutulis ketika ospek (dan diberika kepadanya, tanpa dibubuhi nama pengirim) aku menyarankannya untuk menggunakan kacamata agar terlihat nerd dan mirip Chester Beninngton (lagi-lagi).

Di SMA, aku mulai berpacaran, namun bukan orang yang aku suka. Motivasiku menerima cintanya adalah ingin merasakan pacaran (hal yang belum aku cicipi ketika SMP). Lima minggu berlalu, aku meminta putus dengan alasan “ternyata pacaran itu gak enak”. Kalimat itu terlontar begitu saja, sebenarnya aku ingin putus darinya karena suatu hal yang sepele dan konyol. Ia memberiku puisi, yang salah satu kalimatnya seperti menggambarkan aku dan dia berciuman. Aku jijik. Aku takut hal itu benar-benar terjadi, aku tak mau. Ia menangis di pintu kelas, teman-teman dan beberapa kakak kelas menanyakannya hal itu. Aku hanya diam tidak mengerti apa yang sudah aku lakukan kepadanya. Selang 3 bulan kita kembali menjalin hubungan, aku sudah mulai mengerti tata cara berpacaran walau sedikit canggung seperti menolak cincin yang ia berikan sebagai hadiah ulang tahun dari hasil menabung beberapa minggu. Aku lupa memberikan alasan apa. Menuruku kala itu: memakai cincin samaan dengan pacar adalah sesuatu yang sangat norak. Aku tak mau kakak-kakakku mengolok-olokku.

Aku mulai menikmati ritme berpacaran, untunglah selera musik dan fashion kita sama. Jadi walaupun ia bukan pria yang aku suka, aku tetap nyaman dengannya. Cukup lama aku berpacaran dengannya, 6 tahun.

Kuliah
Aku masih berpacaran dengan pria dia SMA-ku itu. Tapi aku masih seperti Tria yang dulu, menyukai seseorang dan mengkhayalkannya.

Awal kuliah, aku menyukai pria berkaca mata. Aku sudah memperhatikannya ketika masa ospek, kala itu aku belum tahu namanya. Aku memperhatikannya karena dadanya bidang. Ia bukan tipe pria macho, atletis dan kekiniian, sama sekali tidak. Aku tak pernah sekalipun melihatnya tanpa baju, tapi aku tahu dibalik seragam SMA yang tidak pula ketat itu (ospek menggunakan seragam SMA) ada tersimpan dada bidang.  Kebahagianku tak terkira ketika mengetahui bahwa kita satu prodi dan sekelas di semester pertama dan hari pertama kuliah ia duduk disebelahku, terlebih lagi tahu kalau rumahnya dekat dengan rumah om ku yang kala itu aku masih tinggal disana (belum ngekost). Aku mengkhayal kita pulang bareng, tapi tak pernah terjadi. Aku tidak seagresif itu. Cukup lama aku menyukainya. Seperti waktu ketika kecil dulu, aku menulis namanya di tempat-tempat yang tak terduga. Aku menulis namanya di pojok televisiku (aku sudah ngekos), lalu aku lupa menghapusnya dan dibaca oleh salah-satu temanku yang sedang bertandang di kamarku. Aku malu, ketahuan.

Akhir semester akhirnya aku dan pria dari SMA-ku putus. Kita kuliah di kota yang berbeda, hanya bertemu sebulan sekali. Aku tahu ia juga menyukai orang lain, tapi didepannya aku pura-pura tidak tahu. Aku tidak tahu kalau mungkin saja sebenarnya ia pura-pura tidak tahu bahwa aku tahu tentang ia dibelakangku. Aku juga kerap jalan berdua dengan teman kuliahku, tapi bukan orang yang aku sukai. Aku tidak yakin ia tahu tentang ini.

Pria yang aku sukai ketika kelas 6 SD kembali muncul, ia sering menggodaku. Aku sama sekali tidak menyukainya lagi. Menurutku ia terlihat norak sekarang, baik dari gaya berpakaian, topik obrolan dan cara pandang hidup. Kita beberapa kali bertukar cerita, hal yang sangat ingin aku lakukan ketika kelas 6 SD dahulu. Namun terasa hambar dan membosankan ketika itu terjadi ketika kita kuliah.

Kerja
Aku menjalin hubungan cinta baru dengan seorang pria dari kampusku, lagi-lagi bukan termasuk orang yang aku suka. Tidak bertahan lama, hanya 10 bulan.

Pria yang aku suka ketika awal semester kuliah ternyata bekerja di daerah yang sama dengan tempatku bekerja. Kita pun sering berangkat kerja bersama. Hanya aku dan dia dimobilnya. Ingatkan, ketika kuliah aku sering mengkhayal pergi-pulang kampus bersamanya? Hal yang tak pernah terjadi dimasa kuliah, namun terjadi saat kita sudah sama-sama bekerja. Jarak tempat tinggal ke kantor kira-kira memakan waktu 1,5 jam – 2 jam. Banyak yang kita bicarakan, aku sangat menikmati ketika ia memutar CD System of A Down. Setelah cukup sering berinteraksi dengannya, barulah aku sadari bahwa aku tidak cocok dengannya. Banyak hal-hal yang sebenarnya bertentangan. Aku mulai tidak menyukainya.

Setelah lulus kuliah, aku menyukai teman satu jurusan. Semasa kuliah aku tak pernah melihatnya sebagai seseorang yang istimewa. Hal ini aku rasa malah ketika kita sudah lulus, sehingga kesempatan bertemu dengannya sangat jarang sekali. Ketika masa ospek, pria ini pernah mengirimku pesan, menanyakan hal-hal berhubungan dengan ospek, padahal aku belum pernah bertatap muka dengannya sebelumnya. Mengapa aku baru menyukainya ketika lulus kuliah? Kenapa tidak pada awal semester ketika ia memilih aku (diantara mahasiswa baru lainnya) untuk ditanyai (atau mungkin basa-basi) mengenai ospek? Suatu peluang untuk bisa mencuri hatinya. Beberapa bulan yang lalu aku (akhirnya) pernah ngobrol hanya berdua dengannya di suatu warung kopi. Banyak hal yang menurutku kita sama, namun ketika ngobrol aku tidak menemukan keseruan itu. Seharusnya bila dilatar belakangi banyaknya kesamaan, maka obrolan akan seru, timpang-tindih, kenyatanya berbeda. Atau karena aku gugup, sehingga jurus-jurusku mendekati pria tenggelam hingga perut bumi? Entahlah, aku mulai realistis. Tidak mengkhayalkannya lagi.



Dan begitulah ceritaku malam ini.

Aku sudah berada di kamar dari ceritaku pada bagian SMP, sekarang pukul 22.43. Tidak mendengarkan lagu apapun. Aku mengetik di atas kasur dengan beralas sprei bendera Amerika. Sesekali memandang jendela yang berada di sisi kiri ku Semoga lelah karena bercerita ini bisa membuatku tertidur cepat malam ini. Sekian.


Rabu, 29 Oktober 2014

Nganu

Senin, 27 Oktober 2014

Saya bangun kesiangan karena baru terlelap sekitar pukul 2 dini hari. Saya berjalan terhuyung menuju kamar mandi lalu membelokkan keran dan membiarkan air memenuhi ember. Kembali duduk termangu di ujung tempat tidur, membersihkan kotoran mata dan menggaruk pantat yang hanya berlapis celana dalam berwarna hijau stabilo. tak lupa memutar lagu dari handphone. Kalau bukan lagu One Way Trigger-nya The Strokes, ya paling Good Morning Freedom-nya Blue Mink. Tak lama aliran air berhenti. Ember baru terisi setengah. Niat untuk keramas saya urungkan (padahal hari Minggu saya tidak keramas). Mandi tidak terasa menyegarkan pagi itu. Saya berangkat tanpa membawa handphone karena lupa. Pukul 7 lewat saya baru dapat kereta, setelah 4 kereta saya lewatkan. Pertama karena saya masih keasikan dengan buku saya sehingga enggan untuk beranjak, yang kedua dan tiga karena kereta terlalu penuh. Sampai di Manggarai, rasanya saya ingin ke toilet untuk mandi. Tapi tidak jadi.
Sesampai dikantor saya menggunakan make up yang tidak biasa yaitu eye shadow. Saya ingin terlihat gothic hari itu. Karena 'kaca hijau' yang jadi andalan satu divisi tiba-tiba hilang, saya pun meminjam handphone Elvi (tetangga seperkubikelan) untuk bercermin dengan menggunakan kamera depannya. Karena menurut saya mata saya terlihat bagus maka saya pun mengabadikannya, lalu mengirim foto itu via whatsapp ke kontak saya. Setelah sukses terkirim, saya pun menghapus foto tadi lalu mengembalikan handphona.

Lalu

Tiba-tiba, Elvi panik... foto-fotonya sebanyak 1500an lenyap.
Ternyata....
Saya bukan men-select foto saya.....
Saya men-select satu album photo.....
Seribu lima ratus lebih foto-foto Elvi dengan semilyar kenangan hilang karena saya....
...
...
..
.
Saya sudah lama tidak merasakan rasa sebersalah dan sesial hari itu.
***

Rabu, 29 Oktober 2014
Pagi itu saya merapikan folder-folder di laptop saya. Lalu men'disk-clean up' local disk C
Lalu
Tiba-tiba Local disk C saya berkurang sebanyak 128Gb
Saya pun teringat...
Bahwa...
File-file saya simpan di C karena di D sudah penuh.
File kerjaan, lagu-lagu favorit, film dan series semua lenyap....
....
...
...
..
.
Apa saya bilang, saya adalah orang yang sangat dekat dengan karma.

Lega. Lega dalam hiasan maupun harfiah. 

Minggu, 09 Februari 2014

3,1415926535897932384626433832795028841971693993751058209749445923078164062862089986280348253421170679.... (ini saya dapat dari google, bukan asal ketik angka)

MINDFUCK!
Kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang sedang saya alami saat ini. Membuat gambar lingkaran dengan sempurna saja saya harus mengulang setidaknya 5-7 kali. Maximillian Cohen benar-benar membuat saya ber"Oh Shit!"-ria (mungkin lebih tepatnya untuk Darren Aronofsky, sang sutradara). Oke oke seharusnya saya gak langsung ngerocos tentang apa yang terjadi dengan otak saya sekarang. Kita mulai dari awal.




Film Pi, bukan Life of Pi. Film hitam-putih ini mengandung 70% percakapannya mengenai matematika. Spoiler dikit, film ini tentang Maximillian Cohen yang mencari tahu pola dari angka Pi, yang ujung-ujungnya ia mendapatkan 216 angka yang ternyata berhubungan dengan nama Tuhan untuk kaum Yahudi. Jangan tanya saya apa hubungannya Pi dengan Yahudi, saya tidak mengerti matematika, tidak pula dengan Yahudi (di film ini sih dijelaskan apa hubungannya). Angka-angka dari Maximillian Cohen ini, juga berhubungan dengan bursa saham, sehingga ia diteror oleh sekelompok orang jahat yang ingin memanfaatkannya. Tahu apa endingnya? Max mem-bor kepalanya sendiri untuk bisa berhenti dari kepusingannya ngurusin angka-angka Pi, benaran pake mesin bor lho. Maaf ya spoiler, habis gimana lagi antusias gini mana bisa terkontrol. Jujur saya tidak mengerti betul tentang film ini, saya mulai mengikuti alurnya di atas 40 menit dari durasi film 1.24 menit.
Tenang biarpun rumit dimengerti ada 2 hal yang bisa saya ambil dari film ini. Pertama berbentuk petuah yaitu: ketika saya overthinking solusinya adalah Mandi, ini saya dapat dari salah satu tokoh bernama Sol. Kedua: SOUNDTRACKNYA KEREN! musik yang mereka pakai semacam Sigur Ros di album Von dan The Prodigy. Suka suka suka! Habis ini pasti langsung saya download. 
*OOT* Saya jadi teringat ketika saya amaze dengan film Number 23, film terfavorit sepanjang masa. Salah satu faktornya karena saya terlahir di tanggal 23, sukseslah menjadi angka favorit (lelaki yang tanggal lahirnya juga 23, bisa terlihat 3 lebih mempesona buat saya, yang ini norak dan sepele banget sih) 

kemudian tulisan ini menggantung sampai disini, karena saking gak tahunya mau komen apa lagi tentang film ini. Di kepala rasanya kalimat-kalimat tentang film ini meledak-ledak, cuma ketika saya coba ketik jadi terbaca tidak karuan. 

Sabtu, 08 Februari 2014

Another day, another sky

Saya adalah 1 dari sekian banyak orang yang antusias dengan langit. Sampe-sampe di gallery smartphone punya satu folder sendiri yang isinya langit doang. Lebih rinci lagi, saya sukanya dengan awan (gak ding bintang juga, bulan juga deh). Mungkin karena sewaktu kecil kegiatan rutin saya adalah bobok-bobok malas pake singlet sambil membuat permainan dengan diri sendiri (ternyata emang suka monolog dari kecil) yaitu meng-mirip-mirip-kan bentuk awan dengan bentuk orang atau benda.Tempat tidur saya persis disebelah jendela kamar kala itu. Kadang tidak hanya memirip-miripkan, tapi juga membuat cerita. Menyambungkan bentuk awan yang satu dengan bentuk awan lainnya. Seakan mereka bercakap-cakap, yang ujung-ujungnya pasti ada dialog "oooh tidak, angin datang lagi sebentar lagi saya akan berubah bentuk menjadi yang lain, jangan lupakan saya" kata salah satu awan pada awan lainnya yang beberapa menit kemudian membelah diri. Lalu teriakan Ibu untuk mengingatkan saya menggantungkan baju sekolah pun berkumandang menamatkan cerita awan yang saya karang (emang dari dulu anaknya gak rapi, pulang sekolah, buka baju, lalu bajunya di lempar ke pojokkan, padahal besok masih di pake). Kebiasaan ini pula yang membuat saya selalu rela berantem dengan teman/sodara untuk mempertahankan windowseat bila sedang dalam kendaraan. Norak sih keliatanya, cuma ya seru aja. Ada suatu pengalaman melihat awan yang epic banget, saya menyaksikan awan sunset di dalam pesawat ketika dalam penerbangan ke Jambi (gak se epic-banget itu sih mungkin buat kalian). Yang mau tahu ceritanya bisa di baca disini http://triasaraswati.blogspot.com/2011/01/unforgettable-flights.html. 

Ini juga yang menjadi alasan saya tidak pindah-pindah kosan, salah satunya karena kamar saya ada di lantai 3 dan tempat tidur persis berada di sebelah jendela. Kalau weekend, biasanya saya tidur siang "di-nina-bobo-kan" dengan melihat awan, pake sunglasses dulu dong tentunya, silau gila. 

Kalau saya lihat Aurora Borealis, bisa mati berdiri saking senengnya kali ya. 

Baiklah, saya akan memaparkan sebagian koleksi gambar awan yang telah saya abadikan. Hanya beberapa dari total 1323 gambar dari folder yang saya beri nama "Another day, Another Sky" (dulu sempet bikin campaign ini di Instagram, tapi mbok ya kesannya saya perempewi galau gitu ya moto-motoin awan)

Ini saya ambil di kapal menuju Pulau Harapan, saya berada di tengah awan mendung dan awan cerah. 
Ini di Jimbaran, awannya gede banget.
Judulnya "In the middle of nowhere". Saya ada ditengah-tengah awan, ngarepnya sih pake baling-baling bambu tapi kenyataannya saya duduk dikursi pesawat menuju Surabaya

Di Padang, mereka kayak lagi sibuk mengatur-ngatur biar hujan yang keluar setelahnya turun dengan dramatis 

Di Jalan Tol dari Jakarta Timur menuju Depok. Lampu jalan seakan giwangnya awan-awan berjenis kelamin wanita :3

Oia, ada satu lagi yang epic sih,  di Bali kemarin saya melihat awan hujan  dari kejauhan. Di tempat yang saya injaki sih gak ujan, tapi saya smartphone saya daya batreinya habis. Ini gambarnya saya kasih, biar bisa langsung kebayang senenngnya saya kali itu, ijin nyomot ya mbah google

Saya lihatnya juga di pantai, 11-12 sama gambar ini deh. 

Wes, segitu aja cerita kali ini. Bye bye!

Kamis, 06 Februari 2014

Jadi begini, malam ini ntah untuk keberapa kalinya merasa cinta banget Sigur Ros. Sebenarnya, perasaan ini selalu ada, tapi ada dimasa dimana perasaan itu benar-benar memuncak, duh bagaimana mengkalimatkannya ya? Mungkin yang suka Sigur Ros bisa ngerti ke goosebump-an ini. Biasanya goosebump terjadi pada saat pertama kali mendengar/melihat sesuatu, untuk Sigur Ros tidak. Saya sudah mendengar semua lagunya, tapi kadang (seperti saat ini) goosebump ini terjadi lagi, perasaan yang sama ketika sama mendengar Sigur Ros pertama kali. Aneh iya, berlebihan mungkin. Tapi begitulah adanya.
Malam ini, tepatnya beberapa belas menit sebelum saya mengetik tulisan ini, saya tertegun mendengar Stormur. Bergidik, pupil mata membesar (yang saya tahu dari Series Sherlock Holmes ini artinya jatuh cinta), tempo degupan jantung tidak stabil (nope, gak sampe berurai air mata kok). Feel so....  ntahlah. Malam saat 10 Mei 2013 terputar kembali oleh proyektor imajiner saya, ah detik perdetik paling menakjubkan untuk saya selama 22 tahun. Tapi ujung-ujungnya selalu antiklimaks sih, saya hanya bisa monolog untuk menumpahkan keantusiasan saya, karena memang saya tidak punya wadah untuk itu. Pernah sekali ketika perasaan ini sedang muncul, waktu itu untuk lagu inní mér syngur vitleysingur, saya bergoosebump ria ditengah keramaian di dalam mobil ketika pulang dari kantor, lagu inní mér syngur vitleysingur melantun dari ujung earphone. Saya sangat merasa antusias kala itu, lalu saya luapkan keteman yang duduk disamping saya, menceritakan dengan kalimat yang mungkin dia tidak mengerti. Saya yakin dia tidak mengerti, saya tahu bukan dari responnya saja tapi memang saya cenderung berbahasa tidak jelas ketika sedang antusias. Sebenarnya saya tahu dia akan merespon sepatah dua patah kalimat yang tidak seharmoni dengan keantusiasan saya, kasarnya gak nyambung, tapi saya harus meluapkannya apapun respon yang saya terima nantinya. Akhirnya saat itu saya mengadu ke @sigurrosID, cukup menenangkan. Saya ingin mengadu ke @sigurrosID setiap kali ini terjadi, tapi kasian adminnya, mungkin dia bakal bosan karena saya seperti sudah terpola. Jadi kali ini saya tuangkan saja ke blog butut ini. Sebenarnya ini juga tidak cukup melegakan, karena hanya keheningan yang meresponnya. Pikiran saya lebih panjang dari tulisan ini. Ah sudahlah

Senin, 03 Februari 2014

Untuk mayoritas orang, hujan adalah saat yang tepat untuk tidur. Tapi bagi saya, hujan adalah saat yang pas untuk menikmati musik. Sedu kopi, duduk mengarah jendela, mendengar musik dengan earphone (satu telinga saja, telinga lainnya menyelaraskan musik dengan suara hujan). Suara sumbang ini pun disulap menjadi suara yang bening (setidaknya untuk diri sendiri).

Lebih indah lagi bila ini terjadi pada dini hari, ketika semua orang ditundukan mimpi dalam lelapnya, sedangkan saya sibuk merajai mimpi di tepi jendela.

Meramaikan pikiran dengan khayalan sekenanya, menarik-membuang tokoh tokoh khayalan untuk menciptakan dongeng yang sempurna. Tak jarang saya tertawa terpingkal hanya karena tokoh yang dibenci dibuat sial oleh benak, lalu tiba-tiba terdiam menyadari bahwa itu hanyalah kerjaan pecundang. Tapi, siapa peduli?

Sesekali membuat misi baru dalam pendewasaan, yang bisa ditebak setelah bangun dari tidur akan dilupakan tanpa tersisa.

Saat menyebalkan adalah ketika lamunan tidak menjalin hubungan yang harmoni dengan musik yang sedang melantun.

Atau sebaliknya, mendapatkan sepotong lirik yang membuat saya berhenti bercerita dengan diri sendiri, seperti lirik ini
" Tak ada teman telah terpencar
Namun waktu terus berputar
Peduli apa terjadi
Terus berlari tak terhenti
Untuk raih harapan
Di dalam tangis atau tawa"

Kemudian merapatkan lengan dengan tubuh, menajamkan pikiran untuk mengosongkannya. Hal yang paling tidak pernah berhasil saya kerjakan selama hidup.