Rabu, 19 November 2014

Lamunan pulang kerja



Duduk pada anak tangga di peron 3-4 Stasiun Manggarai. Diiringi lagu melankolis dari Badfinger, Apple of My Eye. Udara lembab beraroma hujan. Keadaan ini memaksaku untuk mengenang. Mengenang siapapun ia yang pernah membuat tidurku tak nyenyak karena mengkhayalkannya.

TK
Dia adalah seorang anak laki-laki dari kelas sebelah. Aku lupa namanya, mungkin Reza. Kita tidak saling mengenal. Aku hanya berinteraksi sekali dengannya, itu pun bukan hal yang manis. Ia memarahiku ketika kita dan teman-teman lainnya sedang bermain ayunan. Aku yang seharusnya menangis malah menyukainya. Ntahlah rasa itu tepatnya dinamai apa. Berhubung hanya dia laki-laki yang bisa aku ingat di masa TK, maka kuanggap ia istimewa. Ia berperawakan bocah nakal dengan rambut keriting kusut dan berpipi tirus.

SD
Kelas 1 caturwulan 1, namanya Robi. Rambutnya coklat terang, tinggi diantara yang lain dan kulitnya sangat putih. Ia pernah menggodaku, ia menghadangku, menghentikan langkahku dengan mengembangkan kedua lengannya. Aku kiri, ia ke kiri, aku ke kanan ia kekanan. Aku ingat ia begitu sambil tersenyum manis lalu memanggilku "Saras". Aku pura-pura marah padanya dan mengancamnya untuk mengadukan "tindak kriminal" ini ke wali kelas. Lalu ia tertawa kecil dan meminta maaf lalu membiarkanku pergi menuju kantin. Tahukah ia bahwa aku selalu menunggunya menggodaku lagi di hari-hari berikutnya. Caturwulan 2 aku pindah kota, aku pun kehilangannya. Aku kerap berharap tiba-tiba ada murid baru di sekolahku dan ternyata dia Robi, khayalan ini aku adopsi dari tayangan di televisi.

Aku mulai memiliki idola, seperti Chester Beninngton dan Y2K (salah satu petarung di WWF Smack Down), ku tulis mereka di diaryku. Aku juga menyukai abang-abang gondrong yang kuanggap mirip Y2K, abang gondrong ini hanya kutemui ketika acara 17an di RT-ku. Aku sering membayangkannya walau sampai sekarang aku tidak tahu namanya siapa.

Kelas 5, aku kembali menyukai teman sebayaku. Aku ingat namanya siapa, namun tak akan kusebut disini karena aku malu bila salah-satu teman SD-ku membaca ini. Dia anak baru, berkulit putih, rambut ‘botum’, berbibir merah dan cenderung hemat bicara . Dia banyak disukai anak perempuan, karena ia memiliki nilai plus yaitu berkulit putih, satu hal yang menempati urutan pertama pada daftar ciri-ciri lelaki ganteng pada masa itu. Aku menyukainya karena saat itu aku berpikir ia mirip Chester Beninngton karena model rambutnya sama, tapi setelah aku pikir-pikir lagi ia lebih mirip Boboho berbadan ramping.

Kelas 6, aku menyukai lelaki lain. Sangat-sangat menyukainya, sampai-sampai aku membuat semacam logo yang bila di perhatikan secara seksama akan terbaca namanya. Logo ini aku pakai di diary-ku, karena aku takut dibaca oleh kakak-kakak ku yang sering mencuri baca diaryku. Sehingga setiap mengucapkan namanya di diaryku kuganti dengan Logo itu. Logo itu juga sering aku tulis di belakang buku tulisku, di meja belajarku dengan menggunakan tipe-x, di jendela yang berdebu, dipahaku dengan menggunakan pulpen (aku suka menggambar apa saja di badanku) dan juga pada lenganku ketika diselimuti sabun mandi. Menulis namanya saja sudah membuatku bahagia. Aku tak pernah ngobrol dengannya, hanya saja aku sering dengan sengaja bertemu pandang (memandangnya terus-terusan dari jauh, menunggu ia menoleh ke aku) lalu ketika ia menoleh ke arahku, ku lemparkan senyum termanisku lalu menoleh ke arah lain seakan temu pandang dan senyum itu hal yang biasa, padahal sukses membuat jantungku seakan loncat dari penompangnya. Oh ya, aku juga sering menelpon rumahnya, namun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Aku hanya ingin mendengar suaranya, walau hanya “halo”. Hal yang sering aku khayalkan adalah berada di bangku belakang sepedanya ketika pergi-pulang les.



SMP
Aku mulai berada di usia yang dihiasi dengan trend pacaran. Hal yang tidak pernah aku ikuti semasa SMP. Bukan karena tidak ada pria yang menyukaiku, sudah ada yang menyatakan cinta kepadaku ketika aku kelas 1. Lucunya ia tidak mengatakannya secara langsung, pria itu bernama Ulil, ia bercerita pada temannya yang juga temanku bernama Geri bahwa ia menyukaiku. Lalu Geri menghampiriku yang sedang mengambil piring berisi lontong, Ulil bersembunyi dibelakang tubuh Geri. Geri bilang kepadaku bahwa Ulil menyukaiku dan ingin menjadi pacarku. Aku yang kala itu sedang sibuk dengan lontongku akhirnya berkata “maaf, aku gak mau pacaran” kemudian berlalu menjauhi mereka berdua, mencari tempat untuk menikmati lontong dengan khusyuk. Selain Ulil juga ada pria lain yang menyukaiku, Dia lah yang pertama kali mengirim surat cinta dan memberiku boneka bila di tekan berbunyi “I love you” ketika valentine, namun aku tak menyukainya.

Aku menyukai kakak kelasku, yang lagi-lagi kusukai karena ia (ku anggap) mirip Chester Beninngton. Setiap upacara aku selalu mencarinya dengan ekor mataku.

Kelas 3, aku menyukai teman sekelasku. Aku menyukainya karena ia pendiam, ia duduk di seberangku. Aku ingat, kita pernah belajar bersama sebelum ulangan Fisika.. Aku dan dia duduk di bangku masing-masing, tidak saling berhadapan, kita mengingat-ingat rumus fisika bersama.

SMA

Aku menyukai kakak kelasku, dalam surat yang kutulis ketika ospek (dan diberika kepadanya, tanpa dibubuhi nama pengirim) aku menyarankannya untuk menggunakan kacamata agar terlihat nerd dan mirip Chester Beninngton (lagi-lagi).

Di SMA, aku mulai berpacaran, namun bukan orang yang aku suka. Motivasiku menerima cintanya adalah ingin merasakan pacaran (hal yang belum aku cicipi ketika SMP). Lima minggu berlalu, aku meminta putus dengan alasan “ternyata pacaran itu gak enak”. Kalimat itu terlontar begitu saja, sebenarnya aku ingin putus darinya karena suatu hal yang sepele dan konyol. Ia memberiku puisi, yang salah satu kalimatnya seperti menggambarkan aku dan dia berciuman. Aku jijik. Aku takut hal itu benar-benar terjadi, aku tak mau. Ia menangis di pintu kelas, teman-teman dan beberapa kakak kelas menanyakannya hal itu. Aku hanya diam tidak mengerti apa yang sudah aku lakukan kepadanya. Selang 3 bulan kita kembali menjalin hubungan, aku sudah mulai mengerti tata cara berpacaran walau sedikit canggung seperti menolak cincin yang ia berikan sebagai hadiah ulang tahun dari hasil menabung beberapa minggu. Aku lupa memberikan alasan apa. Menuruku kala itu: memakai cincin samaan dengan pacar adalah sesuatu yang sangat norak. Aku tak mau kakak-kakakku mengolok-olokku.

Aku mulai menikmati ritme berpacaran, untunglah selera musik dan fashion kita sama. Jadi walaupun ia bukan pria yang aku suka, aku tetap nyaman dengannya. Cukup lama aku berpacaran dengannya, 6 tahun.

Kuliah
Aku masih berpacaran dengan pria dia SMA-ku itu. Tapi aku masih seperti Tria yang dulu, menyukai seseorang dan mengkhayalkannya.

Awal kuliah, aku menyukai pria berkaca mata. Aku sudah memperhatikannya ketika masa ospek, kala itu aku belum tahu namanya. Aku memperhatikannya karena dadanya bidang. Ia bukan tipe pria macho, atletis dan kekiniian, sama sekali tidak. Aku tak pernah sekalipun melihatnya tanpa baju, tapi aku tahu dibalik seragam SMA yang tidak pula ketat itu (ospek menggunakan seragam SMA) ada tersimpan dada bidang.  Kebahagianku tak terkira ketika mengetahui bahwa kita satu prodi dan sekelas di semester pertama dan hari pertama kuliah ia duduk disebelahku, terlebih lagi tahu kalau rumahnya dekat dengan rumah om ku yang kala itu aku masih tinggal disana (belum ngekost). Aku mengkhayal kita pulang bareng, tapi tak pernah terjadi. Aku tidak seagresif itu. Cukup lama aku menyukainya. Seperti waktu ketika kecil dulu, aku menulis namanya di tempat-tempat yang tak terduga. Aku menulis namanya di pojok televisiku (aku sudah ngekos), lalu aku lupa menghapusnya dan dibaca oleh salah-satu temanku yang sedang bertandang di kamarku. Aku malu, ketahuan.

Akhir semester akhirnya aku dan pria dari SMA-ku putus. Kita kuliah di kota yang berbeda, hanya bertemu sebulan sekali. Aku tahu ia juga menyukai orang lain, tapi didepannya aku pura-pura tidak tahu. Aku tidak tahu kalau mungkin saja sebenarnya ia pura-pura tidak tahu bahwa aku tahu tentang ia dibelakangku. Aku juga kerap jalan berdua dengan teman kuliahku, tapi bukan orang yang aku sukai. Aku tidak yakin ia tahu tentang ini.

Pria yang aku sukai ketika kelas 6 SD kembali muncul, ia sering menggodaku. Aku sama sekali tidak menyukainya lagi. Menurutku ia terlihat norak sekarang, baik dari gaya berpakaian, topik obrolan dan cara pandang hidup. Kita beberapa kali bertukar cerita, hal yang sangat ingin aku lakukan ketika kelas 6 SD dahulu. Namun terasa hambar dan membosankan ketika itu terjadi ketika kita kuliah.

Kerja
Aku menjalin hubungan cinta baru dengan seorang pria dari kampusku, lagi-lagi bukan termasuk orang yang aku suka. Tidak bertahan lama, hanya 10 bulan.

Pria yang aku suka ketika awal semester kuliah ternyata bekerja di daerah yang sama dengan tempatku bekerja. Kita pun sering berangkat kerja bersama. Hanya aku dan dia dimobilnya. Ingatkan, ketika kuliah aku sering mengkhayal pergi-pulang kampus bersamanya? Hal yang tak pernah terjadi dimasa kuliah, namun terjadi saat kita sudah sama-sama bekerja. Jarak tempat tinggal ke kantor kira-kira memakan waktu 1,5 jam – 2 jam. Banyak yang kita bicarakan, aku sangat menikmati ketika ia memutar CD System of A Down. Setelah cukup sering berinteraksi dengannya, barulah aku sadari bahwa aku tidak cocok dengannya. Banyak hal-hal yang sebenarnya bertentangan. Aku mulai tidak menyukainya.

Setelah lulus kuliah, aku menyukai teman satu jurusan. Semasa kuliah aku tak pernah melihatnya sebagai seseorang yang istimewa. Hal ini aku rasa malah ketika kita sudah lulus, sehingga kesempatan bertemu dengannya sangat jarang sekali. Ketika masa ospek, pria ini pernah mengirimku pesan, menanyakan hal-hal berhubungan dengan ospek, padahal aku belum pernah bertatap muka dengannya sebelumnya. Mengapa aku baru menyukainya ketika lulus kuliah? Kenapa tidak pada awal semester ketika ia memilih aku (diantara mahasiswa baru lainnya) untuk ditanyai (atau mungkin basa-basi) mengenai ospek? Suatu peluang untuk bisa mencuri hatinya. Beberapa bulan yang lalu aku (akhirnya) pernah ngobrol hanya berdua dengannya di suatu warung kopi. Banyak hal yang menurutku kita sama, namun ketika ngobrol aku tidak menemukan keseruan itu. Seharusnya bila dilatar belakangi banyaknya kesamaan, maka obrolan akan seru, timpang-tindih, kenyatanya berbeda. Atau karena aku gugup, sehingga jurus-jurusku mendekati pria tenggelam hingga perut bumi? Entahlah, aku mulai realistis. Tidak mengkhayalkannya lagi.



Dan begitulah ceritaku malam ini.

Aku sudah berada di kamar dari ceritaku pada bagian SMP, sekarang pukul 22.43. Tidak mendengarkan lagu apapun. Aku mengetik di atas kasur dengan beralas sprei bendera Amerika. Sesekali memandang jendela yang berada di sisi kiri ku Semoga lelah karena bercerita ini bisa membuatku tertidur cepat malam ini. Sekian.