Selasa, 31 Desember 2013

Tulisan akhir tahun

Sepertinya bukan saya saja yang merasa kalau 2013 terasa cepat, beberapa hari yang lalu saya juga membaca kalimat bertema serupa pada beberapa akun social media yang saya ikuti. Apa memang kalimat itu memang kalimat wajib yang setiap ujung tahun diucapkan oleh orang-orang. Untuk saya tidak, tahun 2012 saya terasa lama, mungkin juga karena adanya Tugas Akhir yang berakhir dengan Toga Party. Tugas Akhir yang membuat hari makin hari terasa lama karena sering mengerjakan hal yang sama day by day (baca: revisi terus-terusan).
Tahun 2013 bukan tidak saya alami dengan biasa saja, mana bisa saya sebut Konser Sigur Ros dan Pendakian Gunung Pertama kejadian yang biasa saja. Membuka kembali ingatan tentang 2 kejadian tadi saja sudah menaikan 200% mood saya (hiperbola).
Tapi kenapa 2013 hanya terasa seperti 120 hari (satu bulan 10 hari) pergi kemana 245 hari yang lain?
Apa karena ditahun ini akhirnya saya berstatus Single setelah 7 tahun non-stop memiliki hubungan cinta dengan pria (sebelum 7 tahun, saya dilarang pacaran karena masih SMP). Sepertinya hal itu tidak terlalu berperan besar pada hidup saya, mungkin karena saya menikmati segala kesendirian saya.
Tiga tahun sebelum ini saya berada di Rooftop salah satu kostan di Bandung, kost teman semasa kecil pacar saya saat itu. Saya dan dia berbaring diatas genteng tanah liat memandang langit berbintang dan berkilat kembang api, sesekali beradu pandang. Sebelumnya kita menikmati dinner NYE di… salah satu Fast Food ditengah kota. Sederhana ya. Dua tahun sebelum ini saya bersama 2 orang teman lain melewati pergantian tahun di parkiran Senayan. Bukan, disana tidak ada acara special apapun. Kami berada di dalam mobil, mendengarkan radio untuk tahu apakah tahun sudah berganti atau tidak. Kita bersulang dengan bir cemen ketika quick count berhenti diangka satu (sebelumnya kita juga bersulang untuk quick count boongan dari penyiar radio, baru 5 menit sebelum. Gondok, karena sudah saling bilang permohonan untuk tahun depan. Padahal tahunnya belum berganti). Kenapa kita ada di parkiran mobil? Sebelumnya kita berminat NYE salah satu café (bukan Bar) di Kemang. Karena saat itu salah satu teman saya sedang ada masalah dengan pacarnya, jadilah 2 orang temannya termasuk saya kabur dari café itu, kemana-mana macet akhirnya ke parkiran, lalu jalan kaki ke salah satu Fast Food untuk makan, dan membeli bir. 2 tahun baru berturut-turut saya lalu di fast food yang sama, Mc D. Setahun kemarin, saya merayakan pergantian tahun di rumah pacar saya saat itu (berbeda dengan sebelumnya) yang ujung-ujungnya juga ke rooftop untuk melihat kembang api orang lain.
Dan tahun ini, untuk pertama kalinya saya lalui pergantian tahun sendirian. Tidak benar-benar sendirian juga sih, saya ditemani belasan orang yang saya tidak kenal di Coffee Shop tempat dimana saya mengetik saat ini. Sendirian karena pilihan, saya membatalkan opentrip tahun baruan di Pulau Seribu, menolak untuk diajak mencari keramain NYE di tengah kota, dan membatalkan pajama’s party di apartment teman saya yang juga sendirian saat tahun baru.  
Sekarang mari kita bicara soal resolusi. Pertama, sesuai apa yang Ibu inginkan pada saya ditahun depan: Untuk lebih meningkat iman, tidak gampang meninggalkan sholat. Sejujurkan ini resolusi langganan sejak saya masih mengenal dosa meninggalkan sholat. Mari sama-sama ucapkan “Amin” dalam hati untuk resolusi untuk saya dari Ibu ini. Thank you ;)
Kedua,..
Entah kenapa menciptakan resolusi selalu sulit untuk saya, hidup spontanitas sepertinya sudah mendarah daging, jadi sulit memikirkan mau-jadi-apa-kedepannya.

Ah sudahlah, selamat tahun baru! *raise the cup of coffee*

Minggu, 13 Oktober 2013

Observasi

Observasi. Kegiatan kesukaan saya setelah melamun. Langsung saja saya akan memaparkan hasil Observasi Hara Nan Sia-Sia di suatu Coffee Shop sore ini.

1.  Tepat arah jam 1 dimana saya duduk saat ini ada sepasang sejoli yang sepertinya sedang mabuk, mabuk apalagi kalau bukan mabuk cinta. Keduanya bukan remaja tanggung, sekitar umur 25-28 tahun. Sudah setelah jam lebih mereka saling menatap, kontak mata lepas beberapa kali hanya karena perempuan yang tiba-tiba bersandar ke bahu Si Pria lalu kembali saling menatap ketika Si Pria kembali membuka pembicaraan. Keduanya tidak terlihat canggung, malah saya yang terlihat salah tingkah. Jelas ini menggelikan, bukan karena saya saat ini sedang single tapi lebih karena disekililing mereka banyak anak-anak kecil. Ada yang mencuri-curi pandang memperhatikan pasangan sejoli ini sambil memainkan brownies dengan garpu kecilnya, ada juga yang sengaja berjalan mendekati meja pasangan sejoli ini, berdiri 30 detik menatap bingung tanpa berkedip, Kids!  Dan ada juga wanita tak lagi remaja yang hanya memainkan otot mata untuk melirik lalu menuangkannya dalam tulisan, itu saya.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi diantar mereka berdua saat ini? Sesekali perempuan menggeleng, apa si pria meminta sesuatu kepada si wanita seperti.... hmm you know tapi Si Wanita belum siap, atau kemungkinan yang lain Si Pria sedang menawar permintaan Si Wanita yang ingin dibelikan perhiasan.
Si Pria: “Tas aja deh
Si Wanita: *menggeleng lembut sambil tersenyum*
Si Pria: “Jam Tangan? Kamu pengen kita punya Jam Couple kan?”
Si Wanita: *kembali menggeleng dengan tempo yang sama*
Si Pria: “Kamu kan tahu kita sebentar lagi mau menikah bla bla...”

Oke itu hanya khayalan saya. Kemungkinan terakhir ya mereka memang tipe pasangan yang anti-mainstream, cara mengungkapkan rasa sayang dengan saling menghirup CO2 pasangannya.
Akhirnya saya menghampiri mereka, untuk basa basi permisi memakai stop kontak di dekat meja mereka untuk charger laptop saya. Mereka acuhkan saya.

2.       Korban saya selanjutnya adalah seorang ibu muda dengan rambut hitam panjang bergelombang, sesekali menyeka poni belah tengah yang kadang turun menutupi kiri kanan penglihatannya. Dia menggunakan legging bermotif semarak, cardigan berwarna pastel berbanding terbalik dengan warna hijau menyala pada tank top ketatnya. Smooky eyes dan blush on yang terlihat tidak natural ini membuat saya menjulukinya dengan Tante Gaul. Ia tidak sendirian, ditemani oleh perempuan kecil 2-3 tahun dan Mbak-nya si anak yang terlihat tidak mau kalah gaul dengan si majikan. Gaya bicara tante gaul ini tidak tenang, terburu-buru, memerintah dengan mata yang terus-terusan memperhatikan sekitar dengan mimik antagonis. Si Mbak diminta untuk menyebutkan apa saja barang yang di belanjakan olehnya.
Si Mbak: Pertama beli tas..
Si Tante Gaul: Iya..Charles and Keith
Si Mbak: Terus baju nyonya
Si Tante Gaul: Merk apa tadi? Masih ingat gak kamu?
Si Mbak: Minimal.. untung diskon ya Nyah
Si Tante Gaul: *melotot*
Saya: *mendengus*

Jadi kira-kira seperti itulah percakapan yang berlangsung. Mungkin Si Tante Gaul ini merasa ia lah bintang di Coffee Shop ini, seakan-akan orang lain peduli dengan apa yang terjadi pada hidupnya. Sungguh menyedihkan bila perkiraan saya itu simetris dengan isi otaknya.
Tak lama Sang Putri Kecil merengek minta pulang karena tidak sabar makan nasi goreng Mang Kumis. Lalu observasi saya pada mereka pun berakhir.

3.       Terakhir, seorang Ayah muda yang sedang  berdiri di area barista. Mungkin ia salah satu pelanggan di Coffee Shop ini, karena barista tak canggung mencium rambut putra kecilnya yang ia dudukan di atas meja kasir. Dugaan saya ia sedang menunggu istrinya selesai berbelanja, tipikal suami pada umumnya. Ayah dan anak ini duduk di depan saya, Si Ayah membuka cup lalu mencolek white cream dengan sedotan lalu menyodorkannya ke anak. Si Anak tersenyum kecut, mungkin karena ia menggigit dark chocolate. Saya beri 100 poin untuk ayah ini karena tidak membuka gadget ketika sedang bersama anaknya.
Observasi berakhir sampai disini, karena orang yang dinanti sudah tiba. Bye!



Kamis, 03 Oktober 2013

Membalas Puisi


Ide membalas puisi ini saya dapatkan dari salah seorang teman dekat. Bedanya dia dalam bentuk surat, saya puisi.

Saya mengadopsi puisi dari Yourdan, teman lama yang sedang diradang kerinduan.

***

Rindu dapat pecah.

lalu
maaf mulai bersemi
rindu sedang menepi

dan suara yang mulai meredup oleh lembah-lembah kedamaian
tentang asa yang tak kunjung muncul lagi dari bawah bumi

apa kau semesra dahulu kasih
berteduh dibalik punggung ku yang sudah rapuh
tak sekuat dulu,tulang-tulang sudah jatuh berjatuhan pelan hingga dapat ku rasa iba nya

kau merana dalam lara
sedang lara bercampur benci kau izinkan untuk mengerti

entah siapa yang mampu berjalan tanpa cinta yang bercahaya
tanpa cinta yang mulai mengosong seperti bangkai-bangkai anak panah fortuna

kau bersama doa yang tulus
aku berseteru dengan iba mu yang larut

Kemana perginya kau kasih
sekitarmu memuakkan untuk saat ini
sekitarmu belum mengerti tentang adanya makna

dan kuharap kan kasih
berbaiklah pada jalanmu saat ini
entah mungkin,nanti kita berdekapan dalam rasa yang berbeda
mungkin kita berpeluk dengan jiwa yang sama

Langit yang mengerti.
langit yang mendengar,beri jawab
dan langit
mengharap jalan cerita yang baik

Hingga nanti,
semua baik tanpa dendam yang merana
atau kisah dalam jiwa yang akan hilang.


-Yourdan

***

Langit Mengerti, Tidak Denganmu.

Sayangnya aku jatuh hingga ke perut bumi
Akan ku sambut rindumu bila kau mampu menarikku kembali ke permukaan

Tak kulihat senyummu berhenti mengembang bila bersamanya.
Saat itu pula aku merasa rongga dada tak lagi mampu menompang jantung.

Betapa aku ingin pulang
Meluaskan kembali Sabana yang kita pernah rawat.

Terhenyak pada sorot lembut yang kau ciptakan dari kedua kelopakmu hanya untukku.

Kapan aku bisa kembali bisa membuatmu mengabaikan semesta hanya untuk mendengar deruan nafasku.

Langit mengerti, tidak dengan dirimu.
Baiknya aku layangkan saja harapan itu di langit.
Langit dan Harapan menyatu.
Biarlah mereka berteman, menertawakan atom-atom kerinduan kita yang mengambang.
Molekul yang pernah bersemayam tak akan kembali ada, karena atom-atom enggan  saling mengikat.




Aku pun merindumu.
Sesederhana merindukan matahari saat bermalam di Surya Kencana.


-TR

***

Sabtu, 14 September 2013

Pendakian Pertama, Gunung Pangrango 3019mdpl

Dengan bermodal keberanian, catatan kesehatan yang cukup baik dan hanya Sabtu-Minggu bisa terlepas dari urusan kantor, saya pun memberanikan diri untuk mendaki ke Gunung Pangrango, gunung yang baru saya tahu namanya dua minggu sebelum hari H.
Pendakian pertama, yang saya inginkan hanyalah kejutan dari semesta. Saya tidak mencari tahu bagaimana medan dan pemandangan selama mendaki nanti. Yang saya lakukan adalah mempersiapkan  diri. Persiapan diri yang saya maksud adalah menjauh dari dunia modern, setidaknya dalam 1 minggu sebelum berangkat saya puasa apapun kegiatan manusia zaman ini, seperti Social Media dan Mall. Tidak berjalan sempurna karena pekerjaan saya ada di Social Media, ya setidaknya saya tidak membuka akun pribadi saya. Ibarat tradisi pemutihan menjelang menikah. Saya ingin mendaki dalam keadaan suci. Suci dari segala dunia zaman sekarang yang jauh dari kesadaran tentang alam. Beberapa teman tidak mengerti mengapa saya melakukan ini dan malah mencemooh. Biarlah. 
Saya juga tidak berekspektasi apapun dengan pendakian ini. Tidak menghayal sedikit pun tentang apa yang kira-kira terjadi saat pendakian nanti. 
Perasaan menjelang mendaki seperti mual yang terjadi di otak. Perasaan itu memuncak ketika pesan dari tour untuk meminta izin kepada orang tua terlebih dahulu.  Hal yang tidak mungkin saya lakukan kepada Ibu yang selalu mengedepankan kecemasan. Wajar memang bila seorang Ibu melarang anak perempuannya untuk mendaki gunung. Akhirnya saya memilih untuk berdoa, untuk tidak terjadi seseuatu yang bisa membuat saya menyesal karena tidak meminta izin orang tua terlebih dahulu.
Jumat, 6 September 2013, seperti Jumat malam pada umumnya, macet. Saya sampai ke Depok pukul 20.30, sedangkan jam 22.00 saya harus berada di Terminal Kampung Rambutan. Salah saya tidak belajar dari pengalaman, saya selalu menyepelekan urusan packing. Baru saya lakukan 15 menit sebelum keluar dari kamar. Akhirnya banyak barang yang seharusnya saya bawa tapi tidak terbawa, dan sebaliknya.
Pukul 21.30 saya sampai ke Terminal Kampung Rambutan, mengubah alter ego menjadi Tria yang terpaksa acuh dengan orang baru.
Singkat cerita, saya sampai sekitar pukul 2 dini hari di Cibodas. Tidak memanfaatkan waktu untuk tidur, saya malah duduk menyantap kopi bersama bapak-bapak sambil menonton pertandingan Sepak Bola Belanda.
Pukul 4 pagi, pendakian dimulai. Seluruh doa saya ucapkan berulang-ulang.  Kecemasan dan kegirangan saya redakan, keberanian saya bulatkan. Masih gelap, wejangan-wejangan yang saya dengar sebelumnya saya patuhi, saya tidak sekalipun menyorotkan senter ke kanan dan kiri.
Setengah jam pertama pendakian nafas saya sudah tersengal-sengal. Bernafas melalui mulut, saya memang belum bisa menyelaraskan nafas dengan gerakan yang semakin lama semakin menanjak dengan medan batu-batuan yang tidak tentu tingginya.
Sempat ada monolog penyesalan.  
" Mendaki Gunung? Lupa kalau pernah pingsan di kereta dan bis atau ketika Gladiresik Wisuda?”
“Itu beda, pingsan karena kehabisan nafas bukan karena kecapekan”
“Kehabisan nafas atau tidak sarapan?”

Saya teringat lagi satu wejangan untuk tidak melamun sembarangan di hutan.
Ada perasaan malu untuk mengajak orang disebelah saya untuk istirahat, saya tidak ingin terlihat lemah di mata orang lain. Terlebih lagi mereka semua rata-rata sudah memiliki pengalaman mendaki sebelumnya. Saya tidak ingin merepotkan orang lain, perasaan yang seharusnya tidak ada saat itu.  Saya tertinggal oleh teman setenda saya, lalu berkenalan dan mendaki beriringan dengan kelompok tenda lain, mereka adalah Surya, Yuda, Firman, Vita dan Lily.
Sampai akhirnya kami singgah disepetak tempat beralas jembatan batu ditengah hutan untuk menunaikan ibadah Sholat Subuh. Pengalaman sholat subuh yang mungkin akan saya ceritakan sampai ke cicit saya. Udara dingin hingga ketulang, suara aliran air yang tenang, kicauan burung, hembusan angin pada daun-daun dan bintang-bintang yang bertabur berantakan di langit hitam. Letih dan cemas hilang seketika, perasaan bahagia yang pernah saya rasakan ketika menonton Konser Sigur Ros terulang kembali. Bersyukur, sangat bersyukur.
Satu penyesalan dan keberuntungan yang saya yakinkan saat itu. Menyesal karena memaksa untuk membawa Carrier Bag yang belum diisi saja sudah terasa berat, terlebih lagi saya punya catatan buruk untuk kesehatan tulang punggung. Saya berjanji untuk hanya membawa Day Pack saja untuk pendakian selanjutnya. Merasa beruntung karena menggunakan celana gunung selutut, sebelumnya saya meragu karena takut kedinginan, tersayat semak-semak atau dihinggapi lintah. Tadinya ingin menggunakan Skinny Jeans saja. Untunglah kali ini saya melakukan pilihan yang tepat. Langkah kaki yang makin lama meninggi pasti akan terasa menyiksa bila dipadukan dengan Skinny Jeans.
Matahari pagi adalah jaket paling hangat yang saya temui disana.
Senter mulai disimpan, kupluk dan sarung tangan saya selipkan diantara kantong celana,resleting jaket saya buka dan syal mulai saya regangkan. Pernapasan saya makin lama, makin teratur. Mata saya mulai meliar, mencari-cari sesuatu yang sekiranya dapat saya bawa pulang ceritanya. Penglihatan saya merekam sekeliling, hutan, jurang, batu-batuan sesekali melihat burung yang mengintip dari kejauhan. Sesekali merogoh kantong untuk mendapatkan roti untuk sarapan dan handphone untuk memotret dan merekam. Semakin menanjak, maka semakin sering pula saya dan teman-teman duduk berselonjor. Hukum pendaki tak tertulis adalah menyapa dan memberi semangat sesama pendaki, seperti “permisi Mas/Mba” “Duluan ya Mas/Mba”, atau “Yuk yuk semangat”, hal-hal ramah seperti itu sebenarnya sangat bukan diri saya. Tapi entah mengapa disana saya merasa tidak kaku melakukannya, semua seperti teman lama, reuni dengan orang-orang tidak pernah saya temui.
Dari sudut pandang saya yang sedang tergolek ditepi trek karena kelelahan
Saya ditengah pendakian

Melangkah lebar untuk naik dataran yang lebih tinggi (bahkan ada yang setinggi lutut) makin sering saya temui selepas pukul 9 pagi. Saya mengurangi gerakan mendongak dan memperbanyak gerakan menunduk. Kenapa? karena ketika mendongak saya akan menyadari jalanan di depan saya semakin menanjak, rasa lelah akan datang sebelum saya mendakinya. Lebih baik saya menunduk dan tidak menyadari bahwa dakian semakian tinggi.
Sampai akhirnya, pemandangan tak lagi hanya seputar hutan dan jurang, namun aliran air panas yang menciptakan kebulan asap putih. Cukup sulit mendeskripsikannya tapi akan saya coba: Posisinya ada di tepi jurang, pijakan hanya cukup untuk satu orang, pijakan ini bukan tanah melainkan batu-batu sebesar telapak kaki yang dialiri air hangat yang mengalir dari dinding tebing. Pilihannya adalah bila berpijak pada batu berisiko tergelincir karena licin, bila berpijak pada air, sepatu akan basah sehingga langkah terasa lebih berat. Saya pun mulai meniti jalanan itu, tangan kanan menyentuh permukaan gunung, menggengam akar-akar yang ada, tangan kiri menyentuh kabel yang melintang membatasi antara jurang dan dataran. Jangan tantang saya untuk berjalan sambil melihat kebawah. Sesekali saya berpijak pada batu yang salah, batu yang rentan berubah posisi ketika diinjak dan akhirnya terpaksa saya menenggelamkan kaki pada air hangat. Titian ini memerlukan waktu setidaknya 5 menit, selama itu pula suara hati tak henti-hentinya melantunkan doa.
Terlihat dari jauh uap dari muara air panas
Saya, Yuda dan Vita di pangkal rute titian air panas.
Perhatikan daratannya, itu bentuk nyata dari tulisan saya sebelumnya. 
Sekitar pukul 11 siang saya sampai pada persinggah pertama, namanya Kandang Badak (tentunya tidak ada banyak badak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, mungkin ada namun bersembunyi, bagaimana pun juga sebuah nama tercipta pasti ada alasannya) Disana terang namun tetap dingin. Rasanya ingin membayar Tuhan untuk memunculkan Matahari dari balik awan-awan, tentunya tidak mungkin, dengan apa saya membayar Tuhan?
Kandang Badak

Kandang Badak dan para pendaki yang beristirahat

Setelah Dzuhur, pendakian sesungguhnya dimulai. Tak lagi berpijak pada bebatuan dan beriringan dengan teman. Jalan setapak dengan pohon-pohon melintang, salah satu teman baru saya yang dipanggil Pocong menamai medan ini dengan ‘Jalan Kacau’. Saya perlu melompati, menunduk bahkan merangkak pada pohon-pohon yang melintang. Saya menyenangi jalanan seperti ini, seperti wahana-wahana hiburan yang kreatif dibuat langsung oleh Sang Pencipta untuk saya tanpa ada tangan manusia. Saya membayangkan diri saya sedang berada di suatu game, setiap saya melewati pohon-pohon itu dengan sempurna saya akan mendapatkan bonus poin atau combo untuk pohon-pohon yang tingkat kesulitannya lebih tinggi. Betapa beruntungnya saya dapat merasakan itu.
Persimpangan Gn Gede Dan Gn Pangrango
Tanda ini yang menjadi acuan
Yuda, Lily, Vina, Ipank, Agustina, Jimeng, Pocong, James, Ule, Saya, Lili, Surya
Medan selanjutnya bukan lagi ‘Pohon Kacau’ tapi ‘Akar atau Dahan’ (kali ini saya yang menamai medan ini). Tangan harus berpegangan pada apapun yang dapat dipercaya, bisa akar atau pun dahan. Akar lebih dapat dipercaya ketimbang dahan, kadang ada dahan yang terlihat kokoh namun ternyata rapuh ketika ditarik. Jangan sekalipun berpegangan pada ranting.
Makin lama saya tidak lagi berjalan, namun memanjat. Untunglah saya ditemani teman-teman dan green ranger yang membantu saya memanjat dataran itu. Perlu menarik nafas dalam-dalam sebelum memanjat dataran setinggi dagu saya. Tanahnya basah, tentu tidak bisa berpijak pada ujung-ujung tanah ketika memanjat. Pijakan hanya batu atau akar, bila beruntung pijakan dapat sebesar setengah telapak kaki. Kalau tidak, saya harus pintar melekatkan telapak kaki pada permukaan yang lembab dan merelakan pergelangan pangkal tangan sakit karena ditarik oleh teman yang membantu saya. Medan seperti itu berlangsung hingga menuju puncak, diselingi dengan medan yang sangat lembab yang sebenarnya adalah tempat air mengalir. Salah satu Green Ranger saya lupa Mas Widi atau Mas James menamai medan ini dengan “Jalur selokan”, karena memang seperti selokan. Bila melewati medan ini, betis saya harus rela kotor karena tanah liat.
Saya mulai sering berhenti untuk istirahat dengan medan memanjat seperti ini. Pada suatu pemberhentian Mas Widi berkata “Ini pendakian pertama ya? Hebat loh langsung pilih Gunung Pangrango!” dari pernyataan itu bisa disimpulkan bahwa medan Gunung Pangrango ini tergolong level yang tinggi. Dan hebatnya saya menempatkan Gunung Pangrango untuk daftar pendakian pertama. Menurut Mas Widi, Pangrango medannya lebih susah dibandingkan Mahameru.
Carrier Bag tentunya makin terasa lebih berat, untunglah Mas James berbaik hati menawarkan bantuan untuk membawakan Carrier Bag saya. Langkah saya menjadi lebih lincah untuk mencapai Puncak Pangrango.
Sampai akhirnya.... Puncak Pangrango! Saya, Tria Saraswati berusia 21 tahun 9 bulan, berhasil mencapai puncak Pangrango 3019mdpl! Senyum mengembang tiada henti di pipi ini. Rasa capek terbayar lunas dengan rasa haru dan bangga.
Puncak Pangrango, 3019mdpl
Awan-awan dari Puncak Pangrango

Bukan Puncak Pangrango tempat peristirahat kita, tapi Mandalawangi. Mandalawangi adalah alun-alun Gunung Pangrango, disana lebih indah. Dari Puncak Pangrango saya berjalan menurun sekitar 7-10menit untuk menuju Pangrango. Ketika saya menyadari Mandalawangi semakin dekat, saya berhenti sejenak untuk memasang earphone dan memutar lagu Sigur Ros Hoppipolla. Menarik nafas dalam-dalam lalu mengerluarkannya lewat mulut. Saya sudah siap dengan sejuta kejutan dari Mandalawangi diiringi lagu Hoppipolla. Langkah per langkah makin terasa ringan menyadari Mandalawangi hanya tinggal hitungan detik lagi.
Dan. Tepat pada bagian reff Hoppipolla... Mandalawangi.
Sunset di Mandalawangi.
Hamparan dataran luas dengan ribuan edelwies dengan langit senja membentang bersama awan yang bergerak lebih cepat dari yang pernah saya temui seumur hidup. Matahari hangat. Mata tidak rela berkedip. Mandalawangi berhasil menghisap rasa letih saya dengan keindahannya. Saya sangat syukur bisa menyaksikan pertunjukan ini. Saya kembali Individualis, saya mendengar ada yang memanggil namun saya abaikan. Saya ingin mencumbu Mandalawangi, hanya antara saya dan Mandalawangi.  

Seperti rumah
Seperti terlahir kembali
Seperti kualitas hidupku meningkat
Seperti cinta yang terbalas


Seperti hanya aku orang yang paling beruntung di dunia 
Mandalawangi
Hamparan Edelwies di Mandalawangi
Matahari tenggelam di Mandalawangi
Saya dikelilingi Edelwies
***

Tenda dipasang diantara dua pohon yang saya tidak tahu namanya, yang saya tahu ada Edelwies di kiri kanan halaman tenda saya. Lagi-lagi saya di bantu Mas James. Dingin benar-benar diluar dari prediksi saya, menyesel telah mengeluarkan sweater dari carrier bag ketika masih di kostan. Dingin menusuk ketulang, saya sempat berpikir saya bisa saja mati karena kedinginan. Saya dan teman setenda menyalakan api unggu kecil (karena dilarang untuk menyalakan api unggun besar takut mengakibatkan kebakaran hutan). Unggunan api itu tidak terlalu membatu, andai api bisa digenggam.

Jangan tanya indahnya bentangan langit saat itu. Bintangnya lebih dari kata indah.

Saya tidur lebih awal dari rencana yang saya susun, akumulasi dari kurang tidur, letih dan tidak tahan lama-lama diluar tenda. Kerap kali saya terjaga karena kedinginanan, sleeping bag rasanya hanya seperti helaian kain sifon. Akhirnya saya menyerah, pukul lima dini hari saya tidak lagi mencoba melanjutkan tidur. Keluar tenda untuk sholat subuh, lalu kembali menyalakan api untuk menghangatkan diri. Beruntunglah saya pertunjukan bintang saat itu belum usai. Mata saya menguasai seluruh bintang, mata-mata yang lain sedang tertutup di dalam tenda.

Matahari kian menampakkan diri, saya mandi dengan sinar matahari Mandalawangi. Setelah packing dan membungkus tenda saya berjalan menuju pusat Mandalawangi. Dengan berbantal Carrier Bag saya tidur ditengah sana. Mulai mencumbu Mandalawangi kembali. Memuaskan nafsu mata, karena sadar saya tidak mungkin mendapatkan pemandangan seperti ini di Jakarta. Ibarat di komik, mata saya memancar bunga-bunga semanggi berdaun empat serta titik-titik cahaya.
Catur, Firman, Saya, Surya dan Yuda 
Saya dan Yuda
Lily dan Saya
Firman dan Saya
Ule, Mega dan Saya
Mas Widi, Lily, Saya dan Mas James
Semua
Saya dengan Vrksasana Pose di Mandalawangi


Setelah puas mengabadikan moment-moment bersama teman baru, kami pun mulai turun gunun
g. Perjalanan menurun juga tidak kalah seru, permukaan yang sebelumnya saya tempuh dengan cara memanjat kini dilakukan dengan merosot. Pantat terseret-tersendat di tanah-tanah lembab. Saya juga sempat singgah di suatu pos untuk merendamkan kaki di aliran air hangat.

Waktu tempuh turun gunung lebih cepat dari prediksi green ranger. Mereka memperkirakan kami semua akan turun jam 8 malam, namun kenyataannya jam 5 sore kami sudah sampai di Cibodas.

Dan kemudian masing-masing kembali ke peraduannya, berpisah.

Sebuah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan. Memberi banyak pelajaran dan mengingatkan saya untuk tidak henti bersyukur kepada Sang Pencipta. Salah satunya dengan keberadaan matahari, kini saya tidak lagi mengeluh tentang panasnya Jakarta, karena pernah mengalami suatu kondisi dimana saya memohon kepada Tuhan untuk membuka awan agar Matahari dapat menghangatkan saya.

Terima kasih atas perjalanan spiritual ini, Tuhan :)


Jumat, 06 September 2013

00.43 am. 6 September 2013



Debar ini tak kunjung reda. Tak sabar, cemas, gugup terkacau dalam satu wadah. Aku merasainya sekarang, tidak enak. Raga merugi, seharusnya waktu yang terpakai untuk melamun ini lebih elok diluangkan untuk menabung energi.

Mandalawangi, belum berkenalan denganmu saja, Kau telah dengan sempurna membuatkan kesulitan untuk terlelap. Memikirkanmu, memikirkan kita. Memikirkan pengalaman pertama yang entah apa akhirnya nanti.

Jumat, 09 Agustus 2013

Catatan Anak Lintas Sumatra Kemarin Sore


Lintas Sumatra

Sebagian jalanannya tidak halus, kasar namun tak berlubang. Seperti jalanan yang dulunya retak, lalu diperbaiki seadanya. Tidak apa, setidaknya ini menghasilkan getar-getar anti-tidur.

Penerangan hanya bisa didapat dari kiri-kanan rumah yang berpenghuni. Lampu jalan? atau setidaknya ada benda yang glow in the dark, Sejauh ini saya tidak melihatnya, bila ketemu hutan yaaaa berarti gelap. Apa dipulau Jawa juga seperti ini? #seriusnanya

Setidaknya sepanjang saya terjaga, belum ada kecelakaan.

Rata-rata bus berkecepatan 110-120km/jam. Jadi, jumlah kami disalip oleh bus berbanding lurus dengan saya yang menahan nafas sambil berdoa dan ketakutan.

Kabut

03.53am

Antah berantah (enggan bertanya dengan Ayah)
Kami menemukan City Light lengkap dengan langit bergradasi biru. Melihat kota Padang dari ketinggian. Walau jalanan rusak dan sama sekali tidak ada penerangan selain dari mobil kami sendiri. Menikmati keindahan dengan kecemasan, itulah yang saya rasakan saat ini.

Dimanakah Harimau Sumatra berada?

Selasa, 06 Agustus 2013

Starry Night




Bukan playlist, game, nugget + sosis, atau tempat duduk yang nyaman. Tapi mega yang bertabur bintang. Lebih indah 1000 kali lipat dari lukisan Vincent Van Gogh "Starry Night".
Bintang-bintang ini tak perlu membayar sakit leher yang saya derita akibat terlalu lama mendongak. Tetaplah bermain di atas sana. Bermainlah seakaan  pagi tak akan pernah datang.

Tak akan pernah tega benak ini berkata "basi" ketika bintang-bintang memamerkan diri untuk saya elu-elukan.

Perjalanan menuju kota sebelah dengan jarak tempuh yang tergolong jauh ini terasa singkat karenanya.

Salam indah :)

Minggu, 23 Juni 2013

Orgasm Without Sex, High Without Drugs. Sigur Ros!

Anybody catch the mega epic Sigur Ros show last nite? I DID !!

Bagian mana yang harus saya bahas terlebih dahulu untuk membahas Konser Sigur Ros tadi malam? Terlalu banyak detail yang ingin saya bahas. Everything is perfect!




Tadinya saya akan mengabadikan setiap momen perjalanan saya dari pra sampai paska konser. Nyatanya tidak, saya tidak merelakan diri saya untuk merekam atau sekedar memotret ketika konser berlangsung. Kamera digital yang saya bawa hanya dipergunakan sampai sebelum lampu Istora meremang.

Saya sampai di Istora Senayan jam 5 sore





Kertas ini akan saya sulap dengan 8 tiket Sigur Ros 

8 tiket Sigur Ros sudah ditangan setelah kurang dari satu jam antri
Pose dulu dengan tiket Sigur Ros. Saya masih menggunakan batik, karena  langsung dari kantor. Terlihat dari garis senyum yang mengartikan bahwa saya benar-benar gugup akan konser ini.

Saya lebih terlihat seperti menyeringai daripada senyum. Gesture tubuh yang kaku. Siapa yang tidak gugup akan menyaksikan Sigur Ros dalam hitungan menit?

























Setelah foto ini, atau tepatnya setelah saya memasuki dimensi lain......
Lampu meremang, panggung mulai memaksa saya untuk tidak berkedip, cahaya-cahaya itu...

Sigur Ros hanya terlihat dalam bentuk silhouette dibalik layar putih yang membentang menutupi panggung. Layar putih memproyeksikan video-video amazing, seperti langit Kutub Utara atau berkelana menuju puncak Himalaya, embrio, dan.......Aurora. Suatu penampakan yang saya (dan jutaan manusia) idam-idamkan. Sigur Ros mewujudkan mimpi saya. Saya lupa saya (hanya) berada di Istora saat itu.

Layar putih dan proyeksinya bukan cuma awal yang indah. Ada cahaya-cahaya cantik yang merupakan bintang tamu utama. Diiring lagu yang mulai mendayu, tidak hanya mata dan telinga yang menikmati penampilan ini, saraf saya sepertinya juga ingin berterima kasih. 

Bergelombang. 


Terlalu banyak yang ingin diceritakan, hal-hal indah ada disetiap detik. 

Dua jam paling sempurna seumur hidup saya sampai detik ini. 

Tulisan ini selesai sampai disini, saya tidak terlalu pintar mengubah feeling menjadi tulisan  khusus untuk Sigur Ros. Terlalu sempurna. 



(postingan lama)

Senin, 25 Maret 2013

Chapter 1

Semenjak klub Yoga yang saya ikuti berpindah lokasi, akhir pekan selalu saya habiskan bersama Billy, anjing ras Boxer yang sudah menemani 2 tahun terakhir. Kali ini tidak ada jadwal menemani Asoka berkencan dengan tunangannya. Mereka tengah menikmati liburan di Pulau Mandalika, saya tidak ingin menyiksa diri saya dengan mendengar rayuan gombal berakhir dengan desahan pelan karya mereka, seperti di Bali akhir tahun lalu.

Hari ini saya mencoba memasak resep baru Jambalaya, tidak ada papan nilai dari Asoka, juri untuk setiap masakan saya. Saya hanya mengirimkan foto dan sampai detik ini belum mendapat balasan dari Asoka.

***

Seusai meeting, saya memenuhi janji untuk menemui Asoka di kantornya yang tidak jauh dari Cafe tempat saya menjamu klien. Hari ini hari Senin, artinya saya akan menemui Asoka menggunakan pakaian berwarna merah, perempuan ini selalu menjadwal warna pakaian yang ia gunakan setiap harinya. 

"DEVDAN!!" sapa Asoka dari pojok kantin kantornya. Saya menghampiri sembari menebak-nebak cerita apa lagi yang akan saya dengar sore ini.
"Why you look so fierce, Dan?"
"It's my stoning face, klien tidak puas dengan kampanye yang tim ku usulkan. Artinya aku harus memulai dari awal lagi"
"Kamu tahu, sudah saatnya kamu mencari pasangan. Perempuan mungkin tidak bisa membantu urusan pekerjaanmu, tapi dia akan memberi energi positif biar muka kamu gak kusut lagi seperti ini"
"Buat apa? aku tinggal berjalan ke kamar sebelah dan kamu akan "menyetrika" muka ku yang kusut"
"Huh susah bener ya kasih tahu Pria ganteng berumur 28 tahun, sang Owner Agency PR yang notabene selalu dikelilingi PR-PR cantik satu ini, bendera putih deh. Well... Jambalaya-mu terlihat enak, masih ada buatku?"
"You must blame your rival, Billy menghabiskannya langsung dari Hot Plate dan sekarang lidahnya terbakar"
"Hahaha dasar anjing rakus! Aku mau cerita tentang The Blue Mandalika..."
"ya, aku sudah mempersiapkan diri untuk iri mendengarkan cerita dari pulau itu"
"Noo.. no, The Blue Asoka Saraswati in Mandalika, i mean. Mandalika memang indah, biru. Tapi i was blueing in there, Dan......"

Asoka menceritakan tentang pertengkarannya dengan tunangannya selama di Mandalika. Entah sudah berapa puluh kali Asoka menangisi masalah yang sama, Benny yang sudah ia pacari selama 11 tahun bukan pria baik-baik, dia pria yang gampang cinta lokasi dan Asoka salah satu korbannya. Sayangnya Asoka selalu luluh setiap kali Benny memintanya untuk kembali ke pelukannya. Dan saya pun sudah menyerah meyakinkan Asoka bahwa ia bisa menjalani hari-hari tanpa Benny. Asoka terhisap nyaman dalam lingkaran. 

"Sudah jam 5 sore Dan, kamu gak melakukan tradisimu, Menjemput Senja, Dan?"
***

Menjemput Senja, Asoka memberikan nama itu untuk saya yang selalu mendewakan indahnya senja dari jalan tol. Bila tidak ada keperluan yang urgent, saya selalu pulang tepat jam 5 sore. Tepat jam 5.35 saya akan melihat pertunjukan alam yang paling indah, bahkan kata indah terdengar tidak selaras untuk ini.

Bisakah kita menemukan mesin pelambat malam, aku masih ingin mencumbu sukma merah ini
***