Minggu, 09 Februari 2014

3,1415926535897932384626433832795028841971693993751058209749445923078164062862089986280348253421170679.... (ini saya dapat dari google, bukan asal ketik angka)

MINDFUCK!
Kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang sedang saya alami saat ini. Membuat gambar lingkaran dengan sempurna saja saya harus mengulang setidaknya 5-7 kali. Maximillian Cohen benar-benar membuat saya ber"Oh Shit!"-ria (mungkin lebih tepatnya untuk Darren Aronofsky, sang sutradara). Oke oke seharusnya saya gak langsung ngerocos tentang apa yang terjadi dengan otak saya sekarang. Kita mulai dari awal.




Film Pi, bukan Life of Pi. Film hitam-putih ini mengandung 70% percakapannya mengenai matematika. Spoiler dikit, film ini tentang Maximillian Cohen yang mencari tahu pola dari angka Pi, yang ujung-ujungnya ia mendapatkan 216 angka yang ternyata berhubungan dengan nama Tuhan untuk kaum Yahudi. Jangan tanya saya apa hubungannya Pi dengan Yahudi, saya tidak mengerti matematika, tidak pula dengan Yahudi (di film ini sih dijelaskan apa hubungannya). Angka-angka dari Maximillian Cohen ini, juga berhubungan dengan bursa saham, sehingga ia diteror oleh sekelompok orang jahat yang ingin memanfaatkannya. Tahu apa endingnya? Max mem-bor kepalanya sendiri untuk bisa berhenti dari kepusingannya ngurusin angka-angka Pi, benaran pake mesin bor lho. Maaf ya spoiler, habis gimana lagi antusias gini mana bisa terkontrol. Jujur saya tidak mengerti betul tentang film ini, saya mulai mengikuti alurnya di atas 40 menit dari durasi film 1.24 menit.
Tenang biarpun rumit dimengerti ada 2 hal yang bisa saya ambil dari film ini. Pertama berbentuk petuah yaitu: ketika saya overthinking solusinya adalah Mandi, ini saya dapat dari salah satu tokoh bernama Sol. Kedua: SOUNDTRACKNYA KEREN! musik yang mereka pakai semacam Sigur Ros di album Von dan The Prodigy. Suka suka suka! Habis ini pasti langsung saya download. 
*OOT* Saya jadi teringat ketika saya amaze dengan film Number 23, film terfavorit sepanjang masa. Salah satu faktornya karena saya terlahir di tanggal 23, sukseslah menjadi angka favorit (lelaki yang tanggal lahirnya juga 23, bisa terlihat 3 lebih mempesona buat saya, yang ini norak dan sepele banget sih) 

kemudian tulisan ini menggantung sampai disini, karena saking gak tahunya mau komen apa lagi tentang film ini. Di kepala rasanya kalimat-kalimat tentang film ini meledak-ledak, cuma ketika saya coba ketik jadi terbaca tidak karuan. 

Sabtu, 08 Februari 2014

Another day, another sky

Saya adalah 1 dari sekian banyak orang yang antusias dengan langit. Sampe-sampe di gallery smartphone punya satu folder sendiri yang isinya langit doang. Lebih rinci lagi, saya sukanya dengan awan (gak ding bintang juga, bulan juga deh). Mungkin karena sewaktu kecil kegiatan rutin saya adalah bobok-bobok malas pake singlet sambil membuat permainan dengan diri sendiri (ternyata emang suka monolog dari kecil) yaitu meng-mirip-mirip-kan bentuk awan dengan bentuk orang atau benda.Tempat tidur saya persis disebelah jendela kamar kala itu. Kadang tidak hanya memirip-miripkan, tapi juga membuat cerita. Menyambungkan bentuk awan yang satu dengan bentuk awan lainnya. Seakan mereka bercakap-cakap, yang ujung-ujungnya pasti ada dialog "oooh tidak, angin datang lagi sebentar lagi saya akan berubah bentuk menjadi yang lain, jangan lupakan saya" kata salah satu awan pada awan lainnya yang beberapa menit kemudian membelah diri. Lalu teriakan Ibu untuk mengingatkan saya menggantungkan baju sekolah pun berkumandang menamatkan cerita awan yang saya karang (emang dari dulu anaknya gak rapi, pulang sekolah, buka baju, lalu bajunya di lempar ke pojokkan, padahal besok masih di pake). Kebiasaan ini pula yang membuat saya selalu rela berantem dengan teman/sodara untuk mempertahankan windowseat bila sedang dalam kendaraan. Norak sih keliatanya, cuma ya seru aja. Ada suatu pengalaman melihat awan yang epic banget, saya menyaksikan awan sunset di dalam pesawat ketika dalam penerbangan ke Jambi (gak se epic-banget itu sih mungkin buat kalian). Yang mau tahu ceritanya bisa di baca disini http://triasaraswati.blogspot.com/2011/01/unforgettable-flights.html. 

Ini juga yang menjadi alasan saya tidak pindah-pindah kosan, salah satunya karena kamar saya ada di lantai 3 dan tempat tidur persis berada di sebelah jendela. Kalau weekend, biasanya saya tidur siang "di-nina-bobo-kan" dengan melihat awan, pake sunglasses dulu dong tentunya, silau gila. 

Kalau saya lihat Aurora Borealis, bisa mati berdiri saking senengnya kali ya. 

Baiklah, saya akan memaparkan sebagian koleksi gambar awan yang telah saya abadikan. Hanya beberapa dari total 1323 gambar dari folder yang saya beri nama "Another day, Another Sky" (dulu sempet bikin campaign ini di Instagram, tapi mbok ya kesannya saya perempewi galau gitu ya moto-motoin awan)

Ini saya ambil di kapal menuju Pulau Harapan, saya berada di tengah awan mendung dan awan cerah. 
Ini di Jimbaran, awannya gede banget.
Judulnya "In the middle of nowhere". Saya ada ditengah-tengah awan, ngarepnya sih pake baling-baling bambu tapi kenyataannya saya duduk dikursi pesawat menuju Surabaya

Di Padang, mereka kayak lagi sibuk mengatur-ngatur biar hujan yang keluar setelahnya turun dengan dramatis 

Di Jalan Tol dari Jakarta Timur menuju Depok. Lampu jalan seakan giwangnya awan-awan berjenis kelamin wanita :3

Oia, ada satu lagi yang epic sih,  di Bali kemarin saya melihat awan hujan  dari kejauhan. Di tempat yang saya injaki sih gak ujan, tapi saya smartphone saya daya batreinya habis. Ini gambarnya saya kasih, biar bisa langsung kebayang senenngnya saya kali itu, ijin nyomot ya mbah google

Saya lihatnya juga di pantai, 11-12 sama gambar ini deh. 

Wes, segitu aja cerita kali ini. Bye bye!

Kamis, 06 Februari 2014

Jadi begini, malam ini ntah untuk keberapa kalinya merasa cinta banget Sigur Ros. Sebenarnya, perasaan ini selalu ada, tapi ada dimasa dimana perasaan itu benar-benar memuncak, duh bagaimana mengkalimatkannya ya? Mungkin yang suka Sigur Ros bisa ngerti ke goosebump-an ini. Biasanya goosebump terjadi pada saat pertama kali mendengar/melihat sesuatu, untuk Sigur Ros tidak. Saya sudah mendengar semua lagunya, tapi kadang (seperti saat ini) goosebump ini terjadi lagi, perasaan yang sama ketika sama mendengar Sigur Ros pertama kali. Aneh iya, berlebihan mungkin. Tapi begitulah adanya.
Malam ini, tepatnya beberapa belas menit sebelum saya mengetik tulisan ini, saya tertegun mendengar Stormur. Bergidik, pupil mata membesar (yang saya tahu dari Series Sherlock Holmes ini artinya jatuh cinta), tempo degupan jantung tidak stabil (nope, gak sampe berurai air mata kok). Feel so....  ntahlah. Malam saat 10 Mei 2013 terputar kembali oleh proyektor imajiner saya, ah detik perdetik paling menakjubkan untuk saya selama 22 tahun. Tapi ujung-ujungnya selalu antiklimaks sih, saya hanya bisa monolog untuk menumpahkan keantusiasan saya, karena memang saya tidak punya wadah untuk itu. Pernah sekali ketika perasaan ini sedang muncul, waktu itu untuk lagu inní mér syngur vitleysingur, saya bergoosebump ria ditengah keramaian di dalam mobil ketika pulang dari kantor, lagu inní mér syngur vitleysingur melantun dari ujung earphone. Saya sangat merasa antusias kala itu, lalu saya luapkan keteman yang duduk disamping saya, menceritakan dengan kalimat yang mungkin dia tidak mengerti. Saya yakin dia tidak mengerti, saya tahu bukan dari responnya saja tapi memang saya cenderung berbahasa tidak jelas ketika sedang antusias. Sebenarnya saya tahu dia akan merespon sepatah dua patah kalimat yang tidak seharmoni dengan keantusiasan saya, kasarnya gak nyambung, tapi saya harus meluapkannya apapun respon yang saya terima nantinya. Akhirnya saat itu saya mengadu ke @sigurrosID, cukup menenangkan. Saya ingin mengadu ke @sigurrosID setiap kali ini terjadi, tapi kasian adminnya, mungkin dia bakal bosan karena saya seperti sudah terpola. Jadi kali ini saya tuangkan saja ke blog butut ini. Sebenarnya ini juga tidak cukup melegakan, karena hanya keheningan yang meresponnya. Pikiran saya lebih panjang dari tulisan ini. Ah sudahlah

Senin, 03 Februari 2014

Untuk mayoritas orang, hujan adalah saat yang tepat untuk tidur. Tapi bagi saya, hujan adalah saat yang pas untuk menikmati musik. Sedu kopi, duduk mengarah jendela, mendengar musik dengan earphone (satu telinga saja, telinga lainnya menyelaraskan musik dengan suara hujan). Suara sumbang ini pun disulap menjadi suara yang bening (setidaknya untuk diri sendiri).

Lebih indah lagi bila ini terjadi pada dini hari, ketika semua orang ditundukan mimpi dalam lelapnya, sedangkan saya sibuk merajai mimpi di tepi jendela.

Meramaikan pikiran dengan khayalan sekenanya, menarik-membuang tokoh tokoh khayalan untuk menciptakan dongeng yang sempurna. Tak jarang saya tertawa terpingkal hanya karena tokoh yang dibenci dibuat sial oleh benak, lalu tiba-tiba terdiam menyadari bahwa itu hanyalah kerjaan pecundang. Tapi, siapa peduli?

Sesekali membuat misi baru dalam pendewasaan, yang bisa ditebak setelah bangun dari tidur akan dilupakan tanpa tersisa.

Saat menyebalkan adalah ketika lamunan tidak menjalin hubungan yang harmoni dengan musik yang sedang melantun.

Atau sebaliknya, mendapatkan sepotong lirik yang membuat saya berhenti bercerita dengan diri sendiri, seperti lirik ini
" Tak ada teman telah terpencar
Namun waktu terus berputar
Peduli apa terjadi
Terus berlari tak terhenti
Untuk raih harapan
Di dalam tangis atau tawa"

Kemudian merapatkan lengan dengan tubuh, menajamkan pikiran untuk mengosongkannya. Hal yang paling tidak pernah berhasil saya kerjakan selama hidup.