Senin, 03 Februari 2014

Untuk mayoritas orang, hujan adalah saat yang tepat untuk tidur. Tapi bagi saya, hujan adalah saat yang pas untuk menikmati musik. Sedu kopi, duduk mengarah jendela, mendengar musik dengan earphone (satu telinga saja, telinga lainnya menyelaraskan musik dengan suara hujan). Suara sumbang ini pun disulap menjadi suara yang bening (setidaknya untuk diri sendiri).

Lebih indah lagi bila ini terjadi pada dini hari, ketika semua orang ditundukan mimpi dalam lelapnya, sedangkan saya sibuk merajai mimpi di tepi jendela.

Meramaikan pikiran dengan khayalan sekenanya, menarik-membuang tokoh tokoh khayalan untuk menciptakan dongeng yang sempurna. Tak jarang saya tertawa terpingkal hanya karena tokoh yang dibenci dibuat sial oleh benak, lalu tiba-tiba terdiam menyadari bahwa itu hanyalah kerjaan pecundang. Tapi, siapa peduli?

Sesekali membuat misi baru dalam pendewasaan, yang bisa ditebak setelah bangun dari tidur akan dilupakan tanpa tersisa.

Saat menyebalkan adalah ketika lamunan tidak menjalin hubungan yang harmoni dengan musik yang sedang melantun.

Atau sebaliknya, mendapatkan sepotong lirik yang membuat saya berhenti bercerita dengan diri sendiri, seperti lirik ini
" Tak ada teman telah terpencar
Namun waktu terus berputar
Peduli apa terjadi
Terus berlari tak terhenti
Untuk raih harapan
Di dalam tangis atau tawa"

Kemudian merapatkan lengan dengan tubuh, menajamkan pikiran untuk mengosongkannya. Hal yang paling tidak pernah berhasil saya kerjakan selama hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave your comment..