Senin, 14 Mei 2012

untuk semua yang terekam namun enggan di putar ulang

Dari segala hal yang saya ketahui, bungkam adalah pilihan favorit saya. Mengenyamnya untuk memperkuat rasa yang tidak dapat lagi terdefinisikan dengan bahasa makhluk hidup. Satu hal yang saya genggam sekarang, diri sendiri. Saya berjalan lurus tidak menoleh sederajat pun, tanpa mendapat clue apapun untuk  kejutan yang akan saya temui di ujung sana. 

Siang itu sehabis berburu barang di kudapan debu, saya dan dia berhenti di sebuah hutan di tengah kota di Bandung. Mereka menyebutnya taman olahraga, tapi saya tetap mengangap tempat itu adalah hutan (dan bukan untuk olahraga). Tempat yang saya sangat idam-idamkan setelah membaca beberapa buku (lebih tepatnya saya terobsesi dengan gunung). Saya berbaring di papan-papan yang menjadi tempat berinjak untuk mengelilingi hutan. Saya menyipitkan mata karena matahari berada tepat di atas saya, sempat saya bayangkan matahari mengajak saya berbicara karena posisi kami yang berhadapan. Berbaring di tengah hutan membuat saya merasa sedang berada di planet lain dengan ukuran kecil, dan ranting-ranting pohon adalah lapisan ozon yang sangat cantik. Setelah saya pastikan matahari tidak akan pernah bisa bicara, saya pun menutup mata. Tidak hitam yang saya lihat, tapi jingga. Begitu besar kekuatan cahaya matahari, dengan mata tertutup pun saya masih bisa melihat warna cahayanya. Saya mereganggangkan persendian dengan membentangkan tangan dan kaki sambil menghirup udara dalam-dalam, berharap dapat mencium aroma fotosintesis yang sedang berlangsung di sana.

Sang raja tata surya mulai membawa saya ber-monolog, Percakapan dengan diri sendiri yang sudah saya ulang di tiga tahun terakhir ini. Entah ada berapa banyak Tria Saraswati yang ikut dalam diskusi itu, mereka tetap sama, saling menyalahkan walau sadar bahwa mereka dalam jiwa yang sama. Seperti biasa, tidak ada keputusan yang dihasilkan. 

Saya keluar dari monolog itu, menajamkan kembali panca indra. Bentuk fisik bulat matahari kembali terlihat mengintip di balik ranting-ranting pohon. Nyanyian merdu serangga, yang saya tidak tahu persis apakah itu jangkrik, kumbang atau serangga yang seumur hidup saya belum pernah temui. Tersadarlah saya bahwa  kicauan burung memiliki kompetitior yang sangat harus diperhitungkan. 

Sekian menit saya melupakan keberadaan pria yang sedari tadi berada di pojok tempat saya berbaring. Saya menyimpan kembali kata-kata di dalam kantong semu. Kini permukaan kantong semakin menggembung dan terasa berat. Kantong itu lah yang menemani saya untuk terus berjalan lurus. 





Hutan.. maukah kau menikah denganku?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave your comment..