Jumat, 20 Juli 2012

Nenek moyangku memang seorang pelaut

Bertenggerlah saya di depan luar kapal kayu, tepat di kaca depan kapal (ah susah sekali mendeskripsikannya) melamunkan biru dari barat daya hingga timur laut. Sejauh mata memandang hanya laut. 
Biru. Indah. Menganga. 
Sinar terik matahari sore tidak berhasil membujuk saya untuk beranjak mencari tempat yang teduh. Saya berkata pada matahari bahwa saya masih betah bersetubuh dengan laut. Tiupan angin seakan memberi kedipan tanda setuju dengan saya kepada matahari. Matahari menyerah. 
Kapal kayu yang sudah berumur ini mengayun-ayunkan saya ke kanan-kiri seirama dengan ombak. Beginikah rasanya berada di ayunan kain ketika masih bayi? Di ayun-ayun seperti ini sangat tenang. Tenang sampai ke benak. 
Laut seperti menghipnotis, memaksa saya untuk melamun dan mengapatiskan saya dari teman-teman lain yang berada di sebelah saya. 

Seketika Herza menghampiri saya.
Herza: "Daritadi gue dengerin Sigur Ros sambil tiduran disini"
Sesegera mungkin saya mengumpat diri sendiri karena tidak terpikirkan untuk mendengarkan lagu Sigur Ros disaat momen yang sangat tepat. Namun, beberapa saat setelah itu kapal terhenti. Di tengah laut. Saya hanya berbalas pandang dengan teman yang lain. Bisik terdengar tali kemudi putus. Kali ini saya menganga bukan karena indahnya laut, namun karena takut. Saya tidak bisa berenang adalah kalimat yang ucapkan berkali-kali ditengah kecemasan teman-teman. Moncong kapal lama kelamaan bergeser ke kanan karena angin laut yang kencang. Tidak sampai 5 menit masalah teratasi hanya dengan cara tradisional. Sekali lagi saya terkagum dengan kehidupan lautan. 

Perjalanan pulang dari Pulau Pramuka ke Muara Angke yang sangat memuaskan. 
Setelah laut, saya siap berdecak kagum untuk gunung. Tapi kapan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave your comment..